Senin, 27 Februari 2017

Namanya Putra

Kau jarang menatapku. Kau kebanyakan menunduk saat kita berhadapan. Aku bertanya-tanya dalam benak. Hingga suatu ketika aku berhasil menangkap pandanganmu saat melihat ke arahku. Hati ini pilu. Sorot mata tajammu ketika menatapku, aku bisa merasakan apa maksudnya. Kau membenciku. Meski begitu, kau selalu berusaha menyembunyikannya di tundukmu.

Kau salah jika kau menyangka berhasil bersembunyi,  mengira aku tak memahaminya. Aku tahu karena kita telah bersama sejak kau kecil. Aku melihat kebencian di matamu, Nak.

Aku bisa membaca kapan hatimu sangat menjadi benar-benar marah. Namun karena aku adalah ayahmu,  kau berusaha menghormatiku. Meski ada kebencian di sana.

Aku tahu kau hanya berusaha menyalahkanku. Kau melimpahkan semua kesalahan padaku agar kau tak menyalahkan dirimu sendiri. Karena kau akan sangat rapuh jika menyalahkan dirimu sendiri. Tak apa, Nak.
Selama itu membuat hatimu baik-baik saja. Selama kau tak menjadi berputus asa. Selama kau masih bisa berdiri tangguh. Sungguh tak apa. Ada jutaan maaf yang telah dulu ku berikan padamu.



Aku tahu kau bertindak seperti itu agar kau terlihat kuat. Menjadi seperti itu agar kelemahanmu tak nampak. Sebenarnya kau salah Nak. Meski besok seharusnya usiamu telah menginjak 25 tahun, bagiku kau hanyalah putra kecilku yang lemah.

Kali ini, aku tak bisa melihat matamu lagi. Tak apa Nak jika mesti hanya ada tatapan kebencian di sana.  Asal aku masih bisa melihat sinar dari matamu yang nanar. Jangan padam seperti ini.

~Surat terakhir ayah di hari kematian putra~