Selasa, 21 Juni 2016

Day #17Ramadhan, malam Nuzulul Quran


Di suatu sore yang sejuk tampak seorang gadis mungil mengendarai sepedanya. Dibelakangnya, adiknya memeluknya erat. Gadis itu mengayuh sepedanya dengan sangat hati-hati. Takut jikalau mereka terjatuh dari sepeda di atas jalan berbatu. Di keranjang depannya disimpannya Iqra milik adiknya dan Al-Quran besar miliknya. Mereka sedang menuju mesjid sekarang. Mereka santriwati yang sedang belajar Al-Quran,  sedang belajar mengeja kalam ilahi, sedang belajar memahami isi surat cinta Allah.

Sebelum berangkat tadi, ia ingat dengan pesan Ibunya 
"Nak kalau di mesjid, belajar ngajinya yang bener. Tidak usah main lari-larian kayak teman-teman kalian disana. Mesjid rumahnya Allah. Kalian sedang bertamu. Selayaknya seorang tamu harus menjaga kelakuannya kan di rumah tuan rumahnya" 
Gadis kecil itu mengangguk mengiyakan nasehat Ibunya. Diciumi punggung tangan ibunya dengan sangat khidmat.

Mereka termasuk anak-anak yang penurut. Sesampainya di mesjid, mereka mengaji dengan sungguh-sungguh. Saat teman-temannya berlarian kesana kemari, mereka hanya menatapi mereka meski ingin juga rasanya berlarian. Tapi mereka sangat penurut. Terlalu menjaga kepercayaan ibunya. 

Beberapa hari selepas kepergian Ibunya ke sisi Allah SWT. Gadis tadi dan adiknya yang sudah tumbuh dewasa kini mengkhatamkan Al-Quran untuk almarhumah ibunya. Niatnya untuk diberikan amalnya pada Ibunda tercinta. Karena bagaimanapun, karena ibunya jualah mereka mahir membaca kalam Ilahi kini. Di tengah bacaannya, sesekali air mata menetes di pipinya. Dalam hatinya mengucapkan terimakasih yang teramat dalam pada ibunya. Karena beliau, surat cinta ini bisa mereka maknai sedikit demi sedikit. Jika bukan ibu yang dengan kelembutan hatinya selalu mengingatkan mereka untuk berangkat ke mesjid belajar mengaji, entah apa jadinya mereka sekarang.

Malam itu tepat 15 tahun yang lalu, di malam 17 Ramadhan memperingati hari Nuzulul Quran di mesjid tempat gadis mungil itu belajar Al-Quran. Dia tampil menjadi vokalis kasidah, menyanyikan lagu "shalawat badar"nya Hadad Alwi. Lagu ini sangat populer saat itu. Di depan Ibunya, ini kali pertamanya merasa bangga telah dilahirkan oleh ibunya. Gadis mungil itu juga dinobatkan sebagai salah satu santriwati teladan malam itu. Betapa cantiknya senyum ibunya melihat anak mungilnya berdiri di depan panggung.

Malam ini, tepat malam 17 Ramadhan. Setelah mengingat segala kenangan indah bersama Ibunya. Dia berjanji tak akan ada air mata kesedihan lagi kedepannya. Dia kini benar-benar ikhlas atas kepergian ibunya menghadap Tuhannya.

Namun jika kelak kau temui air matanya menetes. Itu hanya air mata kerinduan. Tak apa kan?







Sabtu, 18 Juni 2016

Taman

      Rerumputan yang hijau dan kursi kayu di tengah tamanmu ini, aku menyukainya. Taman ini indah. Benar, aku dapat berbaring terlentang di atas rumput hijau itu sambil memandang langit. Benar, aku duduk di kursi ini dengan nyaman. Udara di sini pun sejuk, menenangkan. Benar, aku hanya sendiri disini, tak ada orang lain yang ku temui. Di sini sunyi sekali. Benar, di taman ini patah hati ku yang lalu telah terobati, dan benar segala penatku dapat ku curahkan disini. Di tengah terikku, taman ini meneduhkanku. Bagiku, kau lelaki teduh.


       Disini sunyi sekali, tuan. Hanya suara kicauan burung yang dapat ku dengar. Hanya hembusan angin yang dapat ku rasa. Dan di balik pohon rindang, sesekali ku temui tulisan namamu dengan nama seorang wanita. Ahh..aku tak bisa membaca nama wanita itu. Tulisannya telah kau coret-coret. Hingga tak bisa terbaca lagi. Mereka hanya masa lalumu kan?


       Tetapi kenapa disini sunyi sekali tuan?. Bahkan aku tak menemui sosokmu sejak tadi. Aku kesepian. Sejak pagi hingga malam menjelang aku menunggumu, tuan. Di sini sunyi sekali. Aku khawatir. Aku takut. Jangan-jangan kau sudah tak mau menengokku disini lagi. Kau meninggalkan ku sendirian di taman bermain ini. 

      

       Namum kau yang memintaku menunggu disini kan?. Meski kau sibuk di luar sana. Aku akan bertahan disini. Karena taman ini bisa membuatku nyaman. Kau membuatku nyaman, tuan.

       Aku tak salahkan jika aku khawatir padamu?. saat kau bahkan tak menghubungi meski aku menunggu setiap detiknya. Aku hanya takut patah hati lagi, tuan.

       Aku tak salahkan jika aku hanya diam saja?. Aku malu selalu memulai percakapan. Perasaanku ku simpan dalam di dasar sana. Dan aku memilih diam saja karena aku berusaha memahamimu.

       Aku tak salahkan jika aku berusaha saja percaya padamu?. Karena harapanku telah ku letakkan pada Sang pemilik hati. Aku hanya berharap Tuhan menyatukan kita.

       Dan aku tak salahkan jika aku takut ada banyak hati yang lebih baik dari hatiku?. Karena aku bahkan merasa tak pantas bersaing dengan para hati itu. Aku takut kau akan berpaling.

       

       Maka biarkan saja seperti ini. Aku akan menyibukkan diriku untuk segala hal positif. Percaya saja pada hatiku bahwa aku menjaganya. Tapi ku mohon jaga pula hatimu.

Aku selalu bertanya apakah aku tak terlalu jauh. Tapi hatiku mempercayaimu lebih daripada aku.


       Mungkin perlakuan romantis tak pernah ku tunjukkan padamu. Karena tertahankan hingga akad telah menyatukan. Kau tahu prinsipku kan?. Percayalah, dibalik diamku aku memikirkanmu lebih dari apa yg kau pikirkan. 


       Ku harap kaulah jodohku di atas ridha-Nya. Karena bagiku hubungan kita adalah "Cinta segitiga", diantara kita ada Allah. Melalui-Nya aku menyampaikan perasaanku.


Aku ingin bermain di taman ini lebih lama.

Kamis, 16 Juni 2016

Akhir Cerita Dejavu (Dejavu Part-6)


Lelaki Dejavu kembali meyapaku di bulan Juni melalui mimpi. Di mimpi sebelumnya dua tahun yang lalu, ia mengajakku bertemu orang tuanya sembari meminta restu untuk menikahiku (Lihat cerita part-3 Kembali tentang Dejavu). Kembali aku berdebat dengan pemahaman khayalku yang dulu bahwa aku menginginkan setiap mimpi tentang Lelaki Dejavu itu adalah potongan masa depan yang nyasar ke dalai mimpiku. Kali ini aku menolaknya. Mimpi kali ini hanya bunga tidur.

Resepsi pernikahan akan segera dilaksanakan, aku telah berdandan sebagaimana pegantin yang menanti hari H di depan cermin. Melalui pantulan cermin, di belakangku tampak seorang wanita anggun sedang sibuk memperbaiki gaunku. Senyumnya begitu meneduhkan, ia selalu berusaha menenangkanku dari rasa degdegan yang ku alami, dan aku bisa begitu patuh padanya. Dia begitu akrab denganku, karena dia yang mengurusi segala hal tentang persiapan pernikahanku. Tapi wajahnya tak ku kenali dalam kehidupan nyataku. Aku tak pernah bertemu dengannya.

Setelah semua persiapan selesai, aku keluar dari ruang dandan menuju ke ruang akad pernikahan. Namun, mempelai lelaki tak kunjung datang. Hatiku bergmuruh, khawatir. Kembali wanita anggun tadi menggenggam tanganku, menenangkan. Aku tersenyum padanya dan memulai mengambil napas panjang. Segera ku ambil ponselku untuk segera menghubunginya. Lama tak diangkat. Aku hampir saja menyerah. Semua tamu pun ikut khawatir. Kali ini, aku yang memegang erat tangan wanita anggun itu, untukku mencari perlindungan diri.  

Setelah beberapa menit akhirnya mempelai lelaki menelpon wanita anggun tadi mengatakan bahwa ia sedang di jalan. Ada urusan mendadak yang sedang dia urus terlebih dahulu sebelum datang ke resepsi pernikahan. Kemudian melalui wanita itu, aku diberitahu. Ku rasa aku paham sekarang, wanita anggun itu adalah teman akrab mempelai lelaki. Melaluinya, ia menceritakan semuanya.

Setelah beberapa menit, akhirnya mempelai lelaki tiba. Ada sedikit ragu ku temui melalui tatapannya padaku. Ku temui banyak kekhawatiran disana. Namun aku tak sempat bertanya. Wanita anggun itu menghampirinya dengan begitu bersemangat. Memberi tahu mempelai lelaki bahwa mempelai perempuan telah siap. Tatapannya pada wanita itu begitu meneduhkan. Saat itu ku rasakan perassan tersakiti wanita itu. Aku paham sekarang.

Sebelum akad dimulai, ku minta pada wanita anggun itu untuk berbicara bertiga dengannya dan dengan mempelai lelaki. Dengan hati yang ku tabahkan, aku mencurahkan hal-hal yang baru saja ku temui barusan. Tentang perasaan mempelai lelaki sebenarnya, tentang penerimaan wanita anggun itu atas keputusan dilaksanakannya pernikahanku ini dengan lelaki itu. Lelaki yang sangat ia cintai, lelaki yang memilihku untuk dia nikahi. Namun pada akhirnya, mempelai lelaki paham pada siapa sebenarnya cintanya dia harus titipkan. Pada siapa sebenarnya tatapannya bisa begitu teduh saat menatap salah satu dari kami.  Pada siapa seharusnya dia nikahi hari ini. Dan itu bukanlah aku.

Siang itu, pernikhan tetap berlangsung. Mempelai lelaki telah duduk di depan bapak penghulu. Di sampingnya, telah duduk juga seorang wanita. Ya, wanita anggun tadi telah menjadi mempelai wanita. Wanita yang dengan semangat penerimaanya mengurus segala resepsi yang seharusnya untuk aku dan kini telah menjadi resepsi pernikahannya. Dengan air mata berderai, wanita anggun itu menatapku yang berdiri di pojok ruangan.  Entahah, diantara kami bertiga perasaan siapa yang lebih tersakiti.

“Saat hubungan kekasih berakhir, apakah hanya satu pihak yang tersakiti?.
Seseorang yang tak bisa memberi tahu siapapun, telah meyakiti dirinya sendiri.
Seseorang yang bahkan tidak tahu apakah dia juga terluka, akhirnya akan menyadarinya.
Bahkan seseorang yang mengabaikan sakit itu, bahkan lebih terluka”

Untung saja ini hanya mimpi. Mimpi pada lelaki Dejavu yang selama ini selalu hadir di mimpi-mimpiku di setiap mendekati Bulan September. Mimpi Dejavu yang kurasa saling berhubungan. 

Selasa, 14 Juni 2016

Dan Kau Bernama Tumor

Sampai detik ini saya masih berharap saya sedang bermimpi buruk. Mimpi yang sangat panjang, dan belum saatnya saya terbangun. Ini sifat manusiawi ketika kenyataan belum bisa diterima sepenuhnya. Ah..egois sekali. 


Setiap sudut ruangan, masih ku temui bayangannya. Di setiap lakuku, ku rasakan pengawasannya. Aku masih merasakan sosok beliau di tengah-tengah keluarga kami. Aku masih belum percaya. Namun lagi-lagi kenyataan membentakku 

"Hei sadar, Ibumu telah tiada!" 

bentakan itu menyadarkanku kini bahwa aku sedang tidak bermimpi. 

Kini, akulah pengganti sosok ibu untuk keluarga. Aku sungguh belum siap. 


Aku tak pernah menyangka akan terpisah dengannya di usia yang terlalu dini ini. Aku ingin marah. Tapi aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa. aku hanya ingin marah saja. Aku ingin berteriak. Tapi aku tak tahu pada siapa tujuan teriakkanku ini. Maka Aku hanya bisa marah padamu saja. Sebongkah daging yang bersarang di kepala ibuku, dan kau bernama tumor. Kau adalah sosok pemisah kami. Bisakah aku menyalahkanmu saja atas apa yang terjadi pada Ibuku?


Aku tak menyangka mengapa kau terlalu sering menyebabkan kematian seseorang. Adik Ovan dan Ibu Sulminah adalah korbanmu juga kan? 

Seorang anak kecil yang kau rampas dari Ibunya. Seorang Istri yang kau rampas dari suaminya. Mereka dulu pernah ku awasi hingga di detik-detik terakhirnya. Dan semua menyisakan kepahitan. 

Tetapi aku tak pernah menyangka sama sekali, tak pernah sungguh. Bahwa kau juga telah bersarang di kepala Ibuku, bahwa kau akan merampas Ibuku dari aku, bahwa kau akan merampas Ibuku dari adik-adikku. Aku tak pernah menyangka sama sekali. 


Kau merampas ingatan ibuku, kau merampas kekuatan ibuku. Kau merampas kenangan ibuku tentang aku.

Lalu akan ada berapa banyak korban lagi? 

Akan ada berapa banyak orang lagi yang kau jangkiti di dunia ini?. Tumor yang setiap saat siap merenggut nyawa korbanmu. Beritahu penawar ampuhmu. Beritahu!!!


Namun, kali ini akan ku lapangkan dadaku seluas-luasnya. Karena Ibuku yang mengajarkanku tentang penerimaan, tentang kesabaran, tentang ketabahan, dan tentang keikhlasan, hingga aku begitu mempercayai takdir. 

"Keputusan Allah 100% terbaik untuk hamba-Nya" 

Maka aku percaya ini demi kebaikanmu, kebaikanku, kebaikan adik-adikku, dan kebaikan Bapak. 
Tenanglah ibu, aku percaya Allah menyayangimu melebihi sayang kami padamu. Allah menjagamu lebih baik dari penjagaan kami. 




Ruang Sunyi, Selasa 14 Juni 2016 
(tepat 3 minggu kepergian Ibu)





Jumat, 10 Juni 2016

Tentang koma dan titik

Izinkan,

Izinkan aku menulis tentangmu

tentang rasa yang ku tujukan padamu

Izinkan.


Bisakah,

Bisakah kau menulis tentangku 

Tentang rindu yang kau tujukan padaku

Bisakah.


Agar aku bisa membacamu 

agar aku bisa tahu tentangmu

Agar kamu bisa membacaku 

Agar kamu bisa tahu tentangku


Jika kelak kau tak bisa membaca tulisanku

Maafkan dan ajarilah aku

Bagaimana menulis A dan B 

Bagaimana menuliskan koma dan titik


Jika kelak aku pun tak bisa membaca tulisanmu

Diktekanlah saja padaku 

Bagaimana membaca A dan B

Bagaimana membaca koma dan titik


Bisa kan?

Senin, 06 Juni 2016

Kata (maaf) yang tak sempat terucap


Siang itu matahari begitu terik, radiasi kalornya begitu terasa meski atap sekolah menjadi peneduhnya. Entah mengapa siang itu terasa begitu memilukan bagiku. Dadaku sesak tanpa sebab. Selepas jam sekolah berakhir, dengan langkah yang berat aku pulang ke rumah.

Seperti rutinitas biasanya, aku memasak makan siang untuk aku dan 3 teman SM3T lainnya. Melihat terong yang ada di atas meja, mungkin Irvan (teman sepenempatan SM3T) telah memetiknya dari lahan kebun kami, tiba-tiba saja aku merindukan Ibuku. Ibu sangat menyukai sayur terong bakar dengan air asam pedas. Kali ini aku memasak masakan terong seperti buatan Ibu. Saat aku mencicipinya, ada haru yang begitu dalam ku rasa. Ah..mungkin rinduku telah begitu dalam.

Setelah makan siang, aku membantu Bulan memeriksa soal ulangan semester siswanya. Tiba-tiba Afdhal (kordinator) mengunjungi rumah kami. Afdhal berangkat langsung dari kota menuju kampung Sara menggunakan speedboat bersama bapak Leo (orang dinas). 
Mulanya kami berpikir kedatangan afdhal merupakan kunjungan seperti biasanya ke tempat penempatan SM3T. Sekedar berkunjung saja. Atau kedatangan Afdhal mengabarkan bahwa penarikan akan di percepat, dugaanku. Maklum tempat kami sinyalnya susah jadi informasi penting harus langsung di sampaikan seperti ini. 
Namun, ketika Afdhal datang. Dia langsung mencariku. Memintaku duduk dan menenangkan diri dulu sebelum kabar penting dia sampaikan padaku. Aku bingung, sangat bingung. Mengapa hanya aku yang dihampiri kordinatorku ini. Tiba-tiba aku teringat Ibu ku yang sakit. sebelum Afdhal memberitahuku, aku menayainya duluan dan dia membenarkan. 

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kapan Afdhal?" 
"Tadi subuh, jam 04.00 WITA" 

Selasa, 24 mei 2016 Ibu dipanggil sama Allah. Langit terasa runtuh saat aku mendengar kabar itu. Aku bingung apa yang harus ku lakukan. Air mata bercucuran tak tertahankan. Ku kendalikan diriku agar aku tidak drop dan pingsan. Aku hanya ingin segera tiba di Makassar. Saat itu waktu telah menunjukkan pukul 15.00 WIT, di Makassar sejam lebih lambat. Ibu telah dikuburkan siang itu ba'da sholat dhuhur. Aku tak sempat melihat wajah Ibu untuk terakhir kalinya. Aku berada di Papua, pulau nan jauh dari tempat dimana ibu berada.

Aku segera berangkat ke kota Bintuni saat itu. Esoknya perjalanan 6 jam jalur darat aku tempuh menuju manokwari. Tiket penerbangan Manokwari-Makassar telah digenggaman. Di atas pesawat, tak henti-hentinya aku menangis. Tak peduli dengan penumpang di sampingku yg mungkin bertanya-tanya dalam hati, aku kenapa. Aku harus mengeluarkan penatku agar aku cukup tangguh saat turun dari pesawat.

Setibanya di bandara aku memeluk mereka yg menjeputku. Empat tetesan air mata ku rasa sudah cukup. Aku tak mau terlihat lemah.
Sesampainya di rumah tanteku menyambut dengan pelukan tangisan, dan aku menyambutnya dengan senyuman yang ku paksakan. Sekali lagi, aku tak mau terlihat lemah. Dengan kekuatan penuh ku langkahkan kakiku menemui Bapak. Ku salimi tangannya dan memeluknya, sebelum air mataku pecah beliau mengingatkan "Boleh menangis asal tidak bersuara, Nak" tetesan air mata berderai saat itu tanpa suara.

Eni memelukku "Ikhlaskan ibu kak" dan aku tak meneteskan air mata lagi saat itu.
Pais yang menyambutku dengan senyum, ku balas ia dengan senyum merekah dan sedikit candaan "Pais tambah gemuk" 

Bapak, Eni, dan Pais tak meneteskan air mata di depanku. Maka aku harus lebih kuat. Hingga setiap ada tamu datang dan mengingatkanku atas kematian ibu, aku hanya menyambutnya dengan senyum ketabahan.

Hingga akhir, aku semakin kesulitan meneteskan air mata. 
Apa yg terjadi padaku?.
Terlalu kuatkah?, atau penyesalanku terlalu besar?, atau aku berusaha menjadi benteng sandaran adik-adikku?.
Atau aku terlalu mempercayai takdir?, atau justru karena rasa sakit yg mendalam?.

Aku meminta adik-adikku menceritakan segala kenangan ibu di detik-detik terakhirnya. Mereka baik-baik saja, selalu ada senyum saat bercerita. Mereka merelakan kepergian ibu dengan begitu ikhlas. Aku salut pada kalian Dik. Jadilah anak sholeh dan sholeha agar kita menjadi sebab amalan ibu yg tidak terputus.

"Allah ku yang Maha baik, izinkan aku bertemu Ibu meski dalam mimpi. Aku ingin menyampaikan setumpuk kata (maaf) padanya. Atau jika tidak, tolong sampaikan pada Ibu ku bahwa aku ingin sekali memeluknya dan bersipuh di hadapnya mengucapkan terima kasih telah merawatku sejak kecil hingga dewasa. Telah banyak nasehat dan pengalaman hidup yang beliau berikan, aku akan terus mengingatnya. Tolong sampaikan ini juga pada Ibuku, Ibu maaf aku tak berada di sisi mu di detik-detik terakhirmu. Maaf aku tak merawatmu di tengah sakitmu. Maaf aku terlalu membuatmu merindukanku. Maaf, maaf, maaf, dan terimakasih telah menjadi Ibuku. Aku mencintaimu"



"Apapun yang terjadi, tetaplah menjadi tangguh Apapun yang terjadi, tetaplah berbuat baik"