Selasa, 14 Juni 2016

Dan Kau Bernama Tumor

Sampai detik ini saya masih berharap saya sedang bermimpi buruk. Mimpi yang sangat panjang, dan belum saatnya saya terbangun. Ini sifat manusiawi ketika kenyataan belum bisa diterima sepenuhnya. Ah..egois sekali. 


Setiap sudut ruangan, masih ku temui bayangannya. Di setiap lakuku, ku rasakan pengawasannya. Aku masih merasakan sosok beliau di tengah-tengah keluarga kami. Aku masih belum percaya. Namun lagi-lagi kenyataan membentakku 

"Hei sadar, Ibumu telah tiada!" 

bentakan itu menyadarkanku kini bahwa aku sedang tidak bermimpi. 

Kini, akulah pengganti sosok ibu untuk keluarga. Aku sungguh belum siap. 


Aku tak pernah menyangka akan terpisah dengannya di usia yang terlalu dini ini. Aku ingin marah. Tapi aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa. aku hanya ingin marah saja. Aku ingin berteriak. Tapi aku tak tahu pada siapa tujuan teriakkanku ini. Maka Aku hanya bisa marah padamu saja. Sebongkah daging yang bersarang di kepala ibuku, dan kau bernama tumor. Kau adalah sosok pemisah kami. Bisakah aku menyalahkanmu saja atas apa yang terjadi pada Ibuku?


Aku tak menyangka mengapa kau terlalu sering menyebabkan kematian seseorang. Adik Ovan dan Ibu Sulminah adalah korbanmu juga kan? 

Seorang anak kecil yang kau rampas dari Ibunya. Seorang Istri yang kau rampas dari suaminya. Mereka dulu pernah ku awasi hingga di detik-detik terakhirnya. Dan semua menyisakan kepahitan. 

Tetapi aku tak pernah menyangka sama sekali, tak pernah sungguh. Bahwa kau juga telah bersarang di kepala Ibuku, bahwa kau akan merampas Ibuku dari aku, bahwa kau akan merampas Ibuku dari adik-adikku. Aku tak pernah menyangka sama sekali. 


Kau merampas ingatan ibuku, kau merampas kekuatan ibuku. Kau merampas kenangan ibuku tentang aku.

Lalu akan ada berapa banyak korban lagi? 

Akan ada berapa banyak orang lagi yang kau jangkiti di dunia ini?. Tumor yang setiap saat siap merenggut nyawa korbanmu. Beritahu penawar ampuhmu. Beritahu!!!


Namun, kali ini akan ku lapangkan dadaku seluas-luasnya. Karena Ibuku yang mengajarkanku tentang penerimaan, tentang kesabaran, tentang ketabahan, dan tentang keikhlasan, hingga aku begitu mempercayai takdir. 

"Keputusan Allah 100% terbaik untuk hamba-Nya" 

Maka aku percaya ini demi kebaikanmu, kebaikanku, kebaikan adik-adikku, dan kebaikan Bapak. 
Tenanglah ibu, aku percaya Allah menyayangimu melebihi sayang kami padamu. Allah menjagamu lebih baik dari penjagaan kami. 




Ruang Sunyi, Selasa 14 Juni 2016 
(tepat 3 minggu kepergian Ibu)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar