Lelaki Dejavu kembali meyapaku di bulan Juni melalui
mimpi. Di mimpi sebelumnya dua tahun yang lalu, ia mengajakku bertemu orang tuanya
sembari meminta restu untuk menikahiku (Lihat cerita part-3 Kembali tentang
Dejavu). Kembali aku berdebat dengan pemahaman khayalku yang dulu bahwa aku
menginginkan setiap mimpi tentang Lelaki Dejavu itu adalah potongan masa
depan yang nyasar ke dalai mimpiku. Kali ini aku menolaknya. Mimpi kali ini
hanya bunga tidur.
Resepsi pernikahan akan segera dilaksanakan, aku telah berdandan
sebagaimana pegantin yang menanti hari H di depan cermin. Melalui pantulan
cermin, di belakangku tampak seorang wanita anggun sedang sibuk memperbaiki
gaunku. Senyumnya begitu meneduhkan, ia selalu berusaha menenangkanku dari rasa
degdegan yang ku alami, dan aku bisa begitu patuh padanya. Dia begitu akrab
denganku, karena dia yang mengurusi segala hal tentang persiapan pernikahanku. Tapi
wajahnya tak ku kenali dalam kehidupan nyataku. Aku tak pernah bertemu dengannya.
Setelah semua persiapan selesai, aku keluar dari ruang dandan
menuju ke ruang akad pernikahan. Namun, mempelai lelaki tak kunjung datang. Hatiku
bergmuruh, khawatir. Kembali wanita anggun tadi menggenggam tanganku,
menenangkan. Aku tersenyum padanya dan memulai mengambil napas panjang. Segera ku
ambil ponselku untuk segera menghubunginya. Lama tak diangkat. Aku hampir saja
menyerah. Semua tamu pun ikut khawatir. Kali ini, aku yang memegang erat tangan
wanita anggun itu, untukku mencari perlindungan diri.
Setelah beberapa menit akhirnya mempelai lelaki menelpon
wanita anggun tadi mengatakan bahwa ia sedang di jalan. Ada urusan mendadak
yang sedang dia urus terlebih dahulu sebelum datang ke resepsi pernikahan. Kemudian
melalui wanita itu, aku diberitahu. Ku rasa aku paham sekarang, wanita anggun
itu adalah teman akrab mempelai lelaki. Melaluinya, ia menceritakan semuanya.
Setelah beberapa menit, akhirnya mempelai lelaki tiba. Ada sedikit
ragu ku temui melalui tatapannya padaku. Ku temui banyak kekhawatiran disana. Namun
aku tak sempat bertanya. Wanita anggun itu menghampirinya dengan begitu bersemangat.
Memberi tahu mempelai lelaki bahwa mempelai perempuan telah siap. Tatapannya pada
wanita itu begitu meneduhkan. Saat itu ku rasakan perassan tersakiti wanita
itu. Aku paham sekarang.
Sebelum akad dimulai, ku minta pada wanita anggun itu untuk
berbicara bertiga dengannya dan dengan mempelai lelaki. Dengan hati yang ku
tabahkan, aku mencurahkan hal-hal yang baru saja ku temui barusan. Tentang
perasaan mempelai lelaki sebenarnya, tentang penerimaan wanita anggun itu atas
keputusan dilaksanakannya pernikahanku ini dengan lelaki itu. Lelaki yang
sangat ia cintai, lelaki yang memilihku untuk dia nikahi. Namun pada akhirnya, mempelai
lelaki paham pada siapa sebenarnya cintanya dia harus titipkan. Pada siapa
sebenarnya tatapannya bisa begitu teduh saat menatap salah satu dari kami. Pada siapa seharusnya dia nikahi hari ini. Dan
itu bukanlah aku.
Siang itu, pernikhan tetap berlangsung. Mempelai lelaki telah
duduk di depan bapak penghulu. Di sampingnya, telah duduk juga seorang wanita. Ya,
wanita anggun tadi telah menjadi mempelai wanita. Wanita yang dengan semangat
penerimaanya mengurus segala resepsi yang seharusnya untuk aku dan kini telah
menjadi resepsi pernikahannya. Dengan air mata berderai, wanita anggun itu
menatapku yang berdiri di pojok ruangan. Entahah, diantara kami bertiga perasaan siapa
yang lebih tersakiti.
“Saat hubungan kekasih berakhir, apakah
hanya satu pihak yang tersakiti?.
Seseorang yang tak bisa memberi tahu
siapapun, telah meyakiti dirinya sendiri.
Seseorang yang bahkan tidak tahu apakah
dia juga terluka, akhirnya akan menyadarinya.
Bahkan seseorang yang mengabaikan sakit
itu, bahkan lebih terluka”
Untung saja ini hanya mimpi. Mimpi pada lelaki Dejavu yang selama ini selalu hadir di mimpi-mimpiku di setiap mendekati Bulan September. Mimpi Dejavu yang kurasa saling berhubungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar