Senin, 06 Juni 2016
Kata (maaf) yang tak sempat terucap
Siang itu matahari begitu terik, radiasi kalornya begitu terasa meski atap sekolah menjadi peneduhnya. Entah mengapa siang itu terasa begitu memilukan bagiku. Dadaku sesak tanpa sebab. Selepas jam sekolah berakhir, dengan langkah yang berat aku pulang ke rumah.
Seperti rutinitas biasanya, aku memasak makan siang untuk aku dan 3 teman SM3T lainnya. Melihat terong yang ada di atas meja, mungkin Irvan (teman sepenempatan SM3T) telah memetiknya dari lahan kebun kami, tiba-tiba saja aku merindukan Ibuku. Ibu sangat menyukai sayur terong bakar dengan air asam pedas. Kali ini aku memasak masakan terong seperti buatan Ibu. Saat aku mencicipinya, ada haru yang begitu dalam ku rasa. Ah..mungkin rinduku telah begitu dalam.
Setelah makan siang, aku membantu Bulan memeriksa soal ulangan semester siswanya. Tiba-tiba Afdhal (kordinator) mengunjungi rumah kami. Afdhal berangkat langsung dari kota menuju kampung Sara menggunakan speedboat bersama bapak Leo (orang dinas).
Mulanya kami berpikir kedatangan afdhal merupakan kunjungan seperti biasanya ke tempat penempatan SM3T. Sekedar berkunjung saja. Atau kedatangan Afdhal mengabarkan bahwa penarikan akan di percepat, dugaanku. Maklum tempat kami sinyalnya susah jadi informasi penting harus langsung di sampaikan seperti ini.
Namun, ketika Afdhal datang. Dia langsung mencariku. Memintaku duduk dan menenangkan diri dulu sebelum kabar penting dia sampaikan padaku. Aku bingung, sangat bingung. Mengapa hanya aku yang dihampiri kordinatorku ini. Tiba-tiba aku teringat Ibu ku yang sakit. sebelum Afdhal memberitahuku, aku menayainya duluan dan dia membenarkan.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kapan Afdhal?"
"Tadi subuh, jam 04.00 WITA"
Selasa, 24 mei 2016 Ibu dipanggil sama Allah. Langit terasa runtuh saat aku mendengar kabar itu. Aku bingung apa yang harus ku lakukan. Air mata bercucuran tak tertahankan. Ku kendalikan diriku agar aku tidak drop dan pingsan. Aku hanya ingin segera tiba di Makassar. Saat itu waktu telah menunjukkan pukul 15.00 WIT, di Makassar sejam lebih lambat. Ibu telah dikuburkan siang itu ba'da sholat dhuhur. Aku tak sempat melihat wajah Ibu untuk terakhir kalinya. Aku berada di Papua, pulau nan jauh dari tempat dimana ibu berada.
Aku segera berangkat ke kota Bintuni saat itu. Esoknya perjalanan 6 jam jalur darat aku tempuh menuju manokwari. Tiket penerbangan Manokwari-Makassar telah digenggaman. Di atas pesawat, tak henti-hentinya aku menangis. Tak peduli dengan penumpang di sampingku yg mungkin bertanya-tanya dalam hati, aku kenapa. Aku harus mengeluarkan penatku agar aku cukup tangguh saat turun dari pesawat.
Setibanya di bandara aku memeluk mereka yg menjeputku. Empat tetesan air mata ku rasa sudah cukup. Aku tak mau terlihat lemah.
Sesampainya di rumah tanteku menyambut dengan pelukan tangisan, dan aku menyambutnya dengan senyuman yang ku paksakan. Sekali lagi, aku tak mau terlihat lemah. Dengan kekuatan penuh ku langkahkan kakiku menemui Bapak. Ku salimi tangannya dan memeluknya, sebelum air mataku pecah beliau mengingatkan "Boleh menangis asal tidak bersuara, Nak" tetesan air mata berderai saat itu tanpa suara.
Eni memelukku "Ikhlaskan ibu kak" dan aku tak meneteskan air mata lagi saat itu.
Pais yang menyambutku dengan senyum, ku balas ia dengan senyum merekah dan sedikit candaan "Pais tambah gemuk"
Bapak, Eni, dan Pais tak meneteskan air mata di depanku. Maka aku harus lebih kuat. Hingga setiap ada tamu datang dan mengingatkanku atas kematian ibu, aku hanya menyambutnya dengan senyum ketabahan.
Hingga akhir, aku semakin kesulitan meneteskan air mata.
Apa yg terjadi padaku?.
Terlalu kuatkah?, atau penyesalanku terlalu besar?, atau aku berusaha menjadi benteng sandaran adik-adikku?.
Atau aku terlalu mempercayai takdir?, atau justru karena rasa sakit yg mendalam?.
Aku meminta adik-adikku menceritakan segala kenangan ibu di detik-detik terakhirnya. Mereka baik-baik saja, selalu ada senyum saat bercerita. Mereka merelakan kepergian ibu dengan begitu ikhlas. Aku salut pada kalian Dik. Jadilah anak sholeh dan sholeha agar kita menjadi sebab amalan ibu yg tidak terputus.
"Allah ku yang Maha baik, izinkan aku bertemu Ibu meski dalam mimpi. Aku ingin menyampaikan setumpuk kata (maaf) padanya. Atau jika tidak, tolong sampaikan pada Ibu ku bahwa aku ingin sekali memeluknya dan bersipuh di hadapnya mengucapkan terima kasih telah merawatku sejak kecil hingga dewasa. Telah banyak nasehat dan pengalaman hidup yang beliau berikan, aku akan terus mengingatnya. Tolong sampaikan ini juga pada Ibuku, Ibu maaf aku tak berada di sisi mu di detik-detik terakhirmu. Maaf aku tak merawatmu di tengah sakitmu. Maaf aku terlalu membuatmu merindukanku. Maaf, maaf, maaf, dan terimakasih telah menjadi Ibuku. Aku mencintaimu"
"Apapun yang terjadi, tetaplah menjadi tangguh Apapun yang terjadi, tetaplah berbuat baik"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Semangatki,. #Alfatihah
BalasHapusIyee resti... ;(
BalasHapus