Minggu, 29 Maret 2015

Senja yang pergi

Senja yang pergi
Aku menyukai ‘senja’, senja bulat utuh berwarna jingga kemerahan yang melangkah pasti menuju ujung laut.
Aku menyukai ‘senja’, senja setengah lingkaran yang setengahnya telah pergi, setidaknya setengahnya lagi masih nampak, mengucapkan selamat tinggal pada langit.
Aku menyukai ‘senja’, senja yang sudah tak nampak lagi, tetapi pancaran sinar kemerah-merahannya masih terlukis pada langit, setidaknya senja masih memberi kabar pada langit.
Aku menyukai ‘senja’, yang telah digantikan malam, yang meninggalkan langit sendiri dalam kegelapan, setidaknya setelah senja pergi, langit menampakkan dirinya yang indah, langit malam yang jauh lebih indah ketimbang di siang hari….
Dan aku suka wujud ‘senja’ yang lain, yang katanya bernama ‘fajar’, indah sekali, karena ia datang bukan pergi. Kedatangannya hanya diketahui oleh sebagian kecil, hanya aku (Langit yang akan kau temui ketika kau baru tiba)..
Dengan kedatangan ‘fajar’ setidaknya saya tahu bahwa waktu untuk menunggu telah kuhabiskan sehari…

Berharap ‘fajar’ segera tiba setelah kepergian ‘senja’

Impuls Menyisakan Luka

“Kau datang dengan gaya impulsif mu dalam waktu yang sangat singkat terhadapku. Seperti pantulan bola, awalnya datang dengan kecepatan yang besar namun tetiba saja kau memantul pergi secara perlahan. Ya kau menyisakan luka dengan kekuatan impuls mu yang besar… Hebat kau mampu mengaplikasikan teori itu tepat di hati ku”
Aku semakin paham sekarang #BenangMerah

Ya begitulah sepenggal inspirasi yg tetiba saja melintas di otakku ketika mengajarkan materi impuls di SMA kelas 2 kemarin,,, maka kali ini kan ku lengkap kan paragraph itu menjadi sebuah cerita…

Simak yuuukk.. J

Kau aneh, menjadi tukang “teror” sang penggangu, dulu. Melangkah pasti, mengikuti jejakku, menyusuri setiap sudut jalan yang ku tapaki. Aku tak suka caramu, kau terlalu terik barada di dekatku.. Intensitas radiasi mu tak mampu ku terjemahkan..

Saking lelahnya aku menghadapi terikmu, maka ku berikan kesempatan untuk mu mengenalku, Aku merasa aneh awalnya, mengapa memberi kesempatam padamu?? Sang pengganggu !!!

Kau hadir  dengan segala konsep dan cara pandang yang kau celotehkan padaku. Miris ! aku terbiasa dengan itu, menyukai setiap gerak-gerikmu. Mulai terbiasa dengan terikmu. sangat terbiasa bahkan.

Namun pada suatu ketika, entah mengapa aku tetiba ragu. ya ragu pada masa lalu, masa sekarang, dan masa depan yang kau ceritakan padaku dari sudut pandangmu. Sulit memahami semuanya. Aku pergi, aku menjadi senja bagi terikmu di siang hari. Menyisakan luka yang dalam padamu dan kau membenciku, ya sangat membenciku. Aku harap saat itu kau tidak segera mengira waktu telah malam.
Sebulan, setahun, dua tahun, entah. Seharusnya aku melupakanmu, atau bahkan membencimu yang sudah sangat membenciku.
Dan pagi kita pun bertemu di waktu yang sama di bumi. kau datang lagi dengan harapan baru, dengan dirimu yang baru, berdamai dengan keadaan, berdamai dengan dirimu. Namun dalam waktu yang tidak begitu lama, tetiba saja kau memintaku untuk tidak berharap lagi.

Kali ini kau datang dengan gaya impulsif mu dalam waktu yang sangat singkat.
Seperti pantulan bola, awalnya datang dengan kecepatan yang besar
namun tetiba saja kau memantul pergi secara perlahan.

Ya kau menyisakan luka padaku. Aksi balas dendam kah ini? batinku berkecamuk. Lalu haruskah aku membencimu seperti dulu kau membenciku?. Ah, rasanya tidak adil jika dendam dibalas dengan dendam.

Maka kali ini, hari telah benar-benar menjadi malam.
Dan aku menyukainya,
Karena aku menemukan jalan berbicara dengan Tuhan,
Tuhan berbisik, “seharusnya kau bertahan hingga akhir dengan prinsip mu, dulu”



Selasa, 17 Maret 2015

HanyaUntuk Menjaga Rasa

Maaf…
Untuk rasa yang tertahankan
Yang terpaksa harus ku hindari
Meski kadang hati ini berkecamuk
Menepi, tersembunyi, dan tak mengerti

Terimakasih . . .
Untuk sebuah rasa yang dulu
Yang kini masih kau ibakan padaku
Meski kadang ingin ku angkat kau dari rasa itu
Menghapus, melupakan, dan tak mau peduli

Kini . . .
Kau benar-benar ingin pergi
Meninggalkan rasa yang tertinggal 
Meski terasa ada rasa bersalah disini
Ku biarkan, meredup, dan tak merasa lagi

Biarkan . . .
Waktu menjawab sebuah tanya ini
Pada segelintir misteri dalam sebuah rasa
Meski harus menentang logika dan hati

Ku ijinkan, menggema, dan tak terdengar


Karena hati ini hanya berusaha menahan rasa
Agar ia tak membara membakar hati ini
Untuk semakin berharap pada hati yang memautku
Karena hati ini hanya berusaha menjaga rasa
Agar ia tak menempatkannya di hati mu
Namun ku simpan untuk sebuah nama di Lauh Makhfudz
Yaa,, hanya untuk menjaga rasa …
ku biarkan hati berteman sepi
agar hati tetap disini, tetap menjadi milikku