Minggu, 28 Mei 2017

Etika, Cinta dan Karya


Perkenalan

(Pemerintah)
Akulah sang penyelenggara sistem pendidikan
Telah kutingkatkan mutu pendidikan
Ku ciptakan lahan untuk menempa guru profesional 
Ku benahi sistem pendidikan tiada henti
Ku kucurkan anggaran untuk memenuhinya
Inginku, kau jalankan dengan segenap jiwa


(Guru)
Lihatlah aku wahai semesta
Sejak matahari terbit hingga petang melambai
Aku di sekolah menuang ilmu
Aku telah berperan menjadi aktor, penasehat, motivator
Aku telah berperan menjadi hakim bahkan pengganti orang tua
Peluh tak akan menjadi karang
Demi dirimu anak-anak didikku


(Orang tua)
Demi Tuhan, aku hanya ingin anakku bersekolah
Ia harus menjadi manusia yang bernilai
Tak seperti aku, yang hanya mampu bertarung lelah
demi mengumpulkan pundi-pundi belas kasih sekeliling

Kutitipkan mereka padamu, wahai para Guru
bimbinglah ia, wahai kau yang mengaku pencetak generasi emas negeri ini

(Siswa)
Ia ingin aku belajar
Tatapannya tegas menanam harapan
Putrinya menjadi manusia yang berguna

“Jangan seperti aku!” katanya
Fajar hingga kabut hitam tiba, masih saja mengadu kekuatan dengan gergaji
Memadu gerak bersama palu besi yang merapatkan barisan kayu
Ia tak peduli cucuran keringat di badan
Pikirnya hanya menanti lembaran upah dari kayu-kayu itu

Ia tak ingin aku berhenti ke sekolah
Tempat para ilmu bersemayam
Rumah para Guru yang katanya, siap memberiku bekal menemui cita-cita

Keluh kesah

(Siswa)
Setiap pagi, aku berangkat ke sana
ratusan pasang mata kadang memaki
pakaian lusuh dan alas kaki yang jarang berganti
juga daya pikir lebih lambat dari teman-teman

Aku kira, suasana di sekolah seperti di rumah
Ayah dan ibu mengajarkan kesederhanaan
Aku kira, suasana di sekolah seperti di rumah
Ayah dan ibu mengajarkan tutur yang baik pada sesama

(Orang tua)
Aku menanti peluhku terbayar
Ku pikir anakku baik-baik saja di tempat itu
Dan kelak bisa menggapai cita-cita yang telah ia tulis dengan huruf kapital
Di setiap sampul buku tulisnyaDD
Tapi, apa yang terjadi?
Anakku pulang dengan isak tangis
Ia mengeluh, cacian terus saja menghantam dirinya yang berbeda
Kalian pernah bilang, pendidikan memanusiakan manusia
Apa benar begitu?

(Guru) 
Kau titipkan anakmu padaku
Lantas di rumah kau mengabaikannya kan?
Kau mungkin terlalu sibuk mencari nafkah
Semua ilmu yang kuberi kadang tak mereka maknai
Aku bukan malaikat yang begitu saja bisa menyulap anakmu ‘
Menjadi pandai dan berkarakter


Dan pemerintah seolah membuatku tidak memiliki kebebasan
Aku kau setir dengan berbagai aturan dunia pendidikan
Aku dibuat gila dengan jabatan dan status


(Pemerintah)
Aku telah memberikan jalan pintas
Menuju kualitas pendidikan negeriku
Tapi kudapati kau yang harusnya jadi pelaku
Hanya diam sebagai penikmat
Duduk termangu tanpa berbuat apa-apa
Lantas mengkritisi khita yang telah ku buat


Saling menyalahkan

(Orang tua)
Di tengah semangat mengumpulkan pundi-pundi untuk pendidikan anakku
kadang upah yang ku dapatkan belum cukup memenuhi biaya yang ia butuhkan
lantas, kepada siapa aku harus mengadu?
Pada pendidikan gratis?
Hahaha... sudah berulang kali kutemui tuannya
Tapi nyatanya?

(Siswa)
ku dengar sekeliling berteriak “pendidikan sudah gratis”
Berarti anak-anak seusia ku bisa sekolah tinggi-tinggi tanpa biaya
Tapi, mengapa orang tua ku masih bekerja hingga larut untuk selembar kwitansi?
  
(Guru)
Guru yang kalian sebut pahlawan tanpa tanda jasa
Ternyata belum begitu dihargai oleh negara
Penghidupan layak belum juga aku rasa cukup
Aku juga punya tanggung jawab
Untuk kesejahteraan keluarga
Banyak teman-temanku yang kau mutasi
Bahkan kau pensiunkan dini
Di mana penghargaanmu atas jasa-jasa kami?

(Pemerintah)
Tak semua guru layak menjadi pendidik
Makanya kalian dimutasi, dipensiunkan
Tak semua siswa berjuta cita,
Hingga pengangguran mewabah
Tak semua orang tua peduli,
Hingga anaknya macet nalar, cacat karakter, buta etika



Pembelaan

(Pemerintah)
Kamu, kamu dan kamu
adalah wakil tokoh banyak tingkah penuh celoteh
Mau sejahtera tanpa kinerja
Mau pintar tanpa belajar
Mau mau mau mau mau jadi teladan tanpa pernah
meluangkan waktu buat anaknya
Revolusi
Revolusi
adalah jalan tercerahkan saat bangsa dirundung cemas
Jika berbenah hanyalah kemalasan
Bersiaplah dilibas, ditindas kemajuan zaman
dengan setumpuk alasan salah pada pemerintah

(Guru)
Sebenarnya ini bukan salah siapa
Bukan salah pemerintah
Bukan salah orang tua
Bukan salah kami para guru
Pun bahkan bukan salah siswa
Bukan salah kritikan dalam lembar-lembar yang tak berdosa ini

Kita tak mesti saling mengutuk
Nyalakan lilin
Nyalakan lilin
Nyalakan lilin
Cahaya lilin kita akan menjadi penerang jalan mereka menuju mimpi
Gelap hanya akan semakin menggemakan teriakan-teriakan bodoh
Tak menyelesaikan masalah tak memberikan solusi


(Semua Lakon)
Pendidikan adalah jalan menolak ketertinggalan
Memantaskan diri melalui karakter, literasi dan kompetensi
Kita adalah bangsa yang menjunjung pendidikan
Generasi ideal ditentukan oleh pendidikan bangsanya

Era kemajuan, era berbenah
Sebagai pelopor pengawal pendidikan
Selayaknya kita terjaring dalam rerangka kemajuan
Mencapai kemajemukan pendidikan melalui etika, cinta dan karya


**Karya:
Yuni Paliling
Sri Wahyuni
Saleha
Milawati

Jumat, 12 Mei 2017

Bingkai Foto Usang



Rendra duduk tersimpuh memandangi sikunya yang berlumuran darah. Akibat terjatuh kemudian menabrak meja kaca ruang tamu hingga pecahannya melukai siku. Seperti biasanya, randra hanya tertawa kecil melihat luka yang berkali-kali menyapa tubuhnya. Ini sudah jatuh yang kesekian kali. Meski usianya kini baru menginjak delapan tahun, tak pernah ku temui ia merengek atau menangis seperti anak-anak usianya.
Setahun lalu, saat ayah mengajaknya ke lapangan sepakbola. Ini permintaan terakhir rendra dengan rengekan kala itu. Rendra sangat ingin menonton pertandingan sepakbola megah yang sering diceritakan teman-temannya. Namun takdir telah membawanya ke kehidupan yang baru. Tepat saat pertandingan sepakbola berakhir, para penonton berhamburan keluar dari stadion. Rendra terpisah dengan ayahnya. Ketakutan besar menghampiri. Rendra menangis sejadi-jadinya takut jikalau ia tak bertemu ayahnya lagi. Takut jikalau ia akan ditinggalkan dan dibuang.
“Rendra!” teriak ayah mencarinya saat tersadar rendra tak ada di dekatnya.
Tak ada yang peduli, semua orang hanya sibuk dengan urusan masing-masing. Berkemas dan ingin segera keluar meninggalkan lapagan. Ayah berlari kesana kemari mencari rendra. Namun nihil, ayah tak menemukannya.
Lima belas menit berlalu, suara dari microfon menggema mengisi stadion.
“Telah ditemukan seorang anak dengan ciri berkulit putih, rambut ikal, memakai baju warna merah dan celana jeans. Bagi orang tua yang merasa kehilangan anaknya, silahkan menuju sumber suara”
Ayah tersenyum mendengar informasi itu. Ada rasa lega yang berdesir memenuhi rongga dadanya setelah kecemasan menutupnya sesak sejak tadi. Akhirnya rendra ditemukan.
Sesampainya di sana, seharusnya senyum ayah semakin merekah. Sayangnya, rendra terbaring di atas tandu siap dibopong naik ke mobil ambulance yang baru saja tiba. Ia rupanya jatuh pingsan setelah lelah menagis sejadi-jadinya saat mencari ayah. Rendra segera dilarikan ke rumah sakit.
Rendra masuk ke ruang IGD, ayah menunggu dengan penuh kecemasan. mungkin saja jantungnya akan berhenti berdetak jika setelah ini ada kabar buruk yang ayah dengar lagi. Kehidupan memang sering seperti itu, akan banyak musibah bertubi-tubi yang datang menghampiri meski luka belum sempurna kering.
Seorang lelaki tinggi besar berjas putih keluar dari ruang IGD. Meminta persetujuan ayah untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut pada rendra. Diagnosa dokter ada masalah pada kepala rendra. Ayah harus menunggu lagi, saat seperti itu sangat mendebarkan seolah waktu ingin dihentikan saja. Tak ingin mendengar kabar lanjutannya.
Hasil CT-Scan telah keluar, rendra divonis menderita tumor otak. Ukurannya  masih kecil namun telah menutupi saraf  bagian keseimbangan tubuh. Itulah sebabnya saat panik tadi rendra kehilangan keseimbangan tubuh, hingga  terjatuh dan tak sadarkan diri.
Ayah bersandar ke tembok setelah mendengar kabar itu. Tulang-tulang lututnya terasa ngilu.  
***
Ayah menghampiri rendra yang masih saja memandangi sikunya. Mengangkat rendra menjauh dari pecahan kaca. Membersihkan luka pada siku rendra.
“Ayah, sampai kapan rendra akan terus terjatuh?” tanya rendra polos.
“Sampai rendra bisa menjadi anak yang kuat” jawab ayah sambil membalut siku rendra.
“Rendra sudah kuat ayah, rendra sudah tidak pernah menangis saat terjatuh” protes rendra.
Ayah hanya mampu mengusap kepala rendra dengan senyum yang ditabah-tabahkan setiap kali  menghadapi pertanyaan polos anaknya. “Nak, ayah tak bisa menjelaskan penyakit apa yang sedang menimpamu. Bagaimana pun kau tak akan pernah mengerti” batin ayah teriris. Di dunia ini terkadang ada hal-hal yang tak perlu kita ketahui, tak mesti kita pahami. Sebab dalam ketidak tahuan itu, hidup akan terus berlanjut dengan kaki berdiri tegak.
Sudah setahun rendra mengidap penyakit itu. Pengobatan yang dilakukannya hanya mengkonsumsi obat herbal. Sayangnya, tak ada perubahan yang berarti menuju kesembuhan. Ayah mengannggap karena ukuran tumornya masih kecil, tak mestilah operasi penganggaktan tumor dilakukan. Sebab ayah tak tega melihat kepala mungil anaknya terkena pisau bedah apalagi jika dokter mengebor kepalanya. Membayangkannya saja ayah tak sanggup.
“Pak, kami harus segera mengangkat tumor di kepala anak bapak dengan melakukan operasi. Kami harus meminta persetujuan wali” kata dokter saat rendra melakukan check up.
Selain sering terjatuh, belakangan ini rendra sering muntah, kepalanya sakit tak tertahankan, dan terjadi gangguan penglihatan. Rupanya ukuran tumor semakin membesar. Ayah menyetujui untuk melakukan operasi.  Keyakinan dokter bahwa operasi akan berjalan lancar dan cuaca cerah di luar jendela saat itu, memantapkan hati ayah bahwa rendra akan segera sembuh.
***

Hasil gambar untuk bingkai foto usang

Ayah menatap bingkai foto usang di atas meja. Itu foto terakhir rendra dengan senyum merekah dan balutan perban di kepalanya. Seharusnya usianya kini menginjak tujuh belas tahun.
***