Rendra
duduk tersimpuh memandangi sikunya yang berlumuran darah. Akibat terjatuh kemudian
menabrak meja kaca ruang tamu hingga pecahannya melukai siku. Seperti biasanya,
randra hanya tertawa kecil melihat luka yang berkali-kali menyapa tubuhnya. Ini
sudah jatuh yang kesekian kali. Meski usianya kini baru menginjak delapan
tahun, tak pernah ku temui ia merengek atau menangis seperti anak-anak usianya.
Setahun
lalu, saat ayah mengajaknya ke lapangan sepakbola. Ini permintaan terakhir rendra
dengan rengekan kala itu. Rendra sangat ingin menonton pertandingan sepakbola
megah yang sering diceritakan teman-temannya. Namun takdir telah membawanya ke
kehidupan yang baru. Tepat saat pertandingan sepakbola berakhir, para penonton
berhamburan keluar dari stadion. Rendra terpisah dengan ayahnya. Ketakutan besar
menghampiri. Rendra menangis sejadi-jadinya takut jikalau ia tak bertemu
ayahnya lagi. Takut jikalau ia akan ditinggalkan dan dibuang.
“Rendra!”
teriak ayah mencarinya saat tersadar rendra tak ada di dekatnya.
Tak
ada yang peduli, semua orang hanya sibuk dengan urusan masing-masing. Berkemas
dan ingin segera keluar meninggalkan lapagan. Ayah berlari kesana kemari
mencari rendra. Namun nihil, ayah tak menemukannya.
Lima
belas menit berlalu, suara dari microfon
menggema mengisi stadion.
“Telah
ditemukan seorang anak dengan ciri berkulit putih, rambut ikal, memakai baju
warna merah dan celana jeans. Bagi orang tua yang merasa kehilangan anaknya,
silahkan menuju sumber suara”
Ayah
tersenyum mendengar informasi itu. Ada rasa lega yang berdesir memenuhi rongga
dadanya setelah kecemasan menutupnya sesak sejak tadi. Akhirnya rendra
ditemukan.
Sesampainya
di sana, seharusnya senyum ayah semakin merekah. Sayangnya, rendra terbaring di
atas tandu siap dibopong naik ke mobil ambulance
yang baru saja tiba. Ia rupanya jatuh pingsan setelah lelah menagis
sejadi-jadinya saat mencari ayah. Rendra segera dilarikan ke rumah sakit.
Rendra
masuk ke ruang IGD, ayah menunggu dengan penuh kecemasan. mungkin saja
jantungnya akan berhenti berdetak jika setelah ini ada kabar buruk yang ayah
dengar lagi. Kehidupan memang sering seperti itu, akan banyak musibah
bertubi-tubi yang datang menghampiri meski luka belum sempurna kering.
Seorang
lelaki tinggi besar berjas putih keluar dari ruang IGD. Meminta persetujuan
ayah untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut pada rendra. Diagnosa dokter ada masalah
pada kepala rendra. Ayah harus menunggu lagi, saat seperti itu sangat
mendebarkan seolah waktu ingin dihentikan saja. Tak ingin mendengar kabar
lanjutannya.
Hasil
CT-Scan telah keluar, rendra divonis menderita tumor otak. Ukurannya masih kecil namun telah menutupi saraf bagian keseimbangan tubuh. Itulah sebabnya
saat panik tadi rendra kehilangan keseimbangan tubuh, hingga terjatuh dan tak sadarkan diri.
Ayah
bersandar ke tembok setelah mendengar kabar itu. Tulang-tulang lututnya terasa
ngilu.
***
Ayah
menghampiri rendra yang masih saja memandangi sikunya. Mengangkat rendra
menjauh dari pecahan kaca. Membersihkan luka pada siku rendra.
“Ayah,
sampai kapan rendra akan terus terjatuh?” tanya rendra polos.
“Sampai
rendra bisa menjadi anak yang kuat” jawab ayah sambil membalut siku rendra.
“Rendra
sudah kuat ayah, rendra sudah tidak pernah menangis saat terjatuh” protes
rendra.
Ayah
hanya mampu mengusap kepala rendra dengan senyum yang ditabah-tabahkan setiap
kali menghadapi pertanyaan polos anaknya.
“Nak, ayah tak bisa menjelaskan penyakit apa yang sedang menimpamu. Bagaimana
pun kau tak akan pernah mengerti” batin ayah teriris. Di dunia ini terkadang
ada hal-hal yang tak perlu kita ketahui, tak mesti kita pahami. Sebab dalam ketidak
tahuan itu, hidup akan terus berlanjut dengan kaki berdiri tegak.
Sudah
setahun rendra mengidap penyakit itu. Pengobatan yang dilakukannya hanya
mengkonsumsi obat herbal. Sayangnya, tak ada perubahan yang berarti menuju
kesembuhan. Ayah mengannggap karena ukuran tumornya masih kecil, tak mestilah
operasi penganggaktan tumor dilakukan. Sebab ayah tak tega melihat kepala
mungil anaknya terkena pisau bedah apalagi jika dokter mengebor kepalanya.
Membayangkannya saja ayah tak sanggup.
“Pak,
kami harus segera mengangkat tumor di kepala anak bapak dengan melakukan
operasi. Kami harus meminta persetujuan wali” kata dokter saat rendra melakukan
check up.
Selain
sering terjatuh, belakangan ini rendra sering muntah, kepalanya sakit tak
tertahankan, dan terjadi gangguan penglihatan. Rupanya ukuran tumor semakin
membesar. Ayah menyetujui untuk melakukan operasi. Keyakinan dokter bahwa operasi akan berjalan
lancar dan cuaca cerah di luar jendela saat itu, memantapkan hati ayah bahwa
rendra akan segera sembuh.
***
Ayah menatap bingkai foto usang di atas meja. Itu foto terakhir rendra dengan senyum merekah dan balutan perban di kepalanya. Seharusnya usianya kini menginjak tujuh belas tahun.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar