"Sayembara Tanpa Pemenang"
~Tentang hati yang patah oleh tangan penguasa~
November 2017, pendaftaran pengajuan proposal program sosial diumumkan oleh salah satu perusahaan besar di Makassar. Berbagai kalangan berlomba-lomba mengirimkan proposal program sebagai upaya ingin terlibat dalam pengabdian masyarkat yang disponsori oleh perusahaan besar tersebut.
Program Sekolah Impian, Science Backpacker, Rumah Koran, Tusiwork, Pelatihan Media Untuk Guru di Pulau Terluar Pangkep merupakan 5 proposal di bidang pendidikan yang lolos seleksi hingga ke tahap akhir dari ratusan proposal yang diterima.
Sekolah Impian merupakan program membangun sekolah untuk anak pemulung yang berlokasi di kampung pemulung di tengah kota Makassar. Rumah Koran merupakan program mendirikan taman baca di desa sebagai Gerakan Cerdas Anak Petani. Science Backpacker merupakan program mengajar Sains yang menyenangkan kepada siswa sekolah dasar pedalaman Jeneponto. Tusiwork merupakan program mengajar anak-anak tuna netra, Serta program Pelatihan Media Untuk Guru di Pulau Terluar Pangkep.
Kelima proposal program ini adalah upaya anak muda makassar untuk mengembangkan kemampuan masyarakat di bidang pendidikan. Para pengusungnya memulai proposal ini dengan niat yang tulus, sebagai bentuk pengabdian pada masyarakat. Ada hak-hak masyarakat yang perlu mereka terima melalui tangan-tangan orang lain, tangan-tangan yang peduli.
Saya bersyukur bisa mengenal para pengusung program tersebut. Dari mereka saya banyak belajar bahwa ambisi pribadi hanyalah sebagian kecil dari ambisi-ambisi yang mesti dijalankan dalam hidup. Bahwa hidup adalah jalan menuju kehidupan yang sebenarnya. Bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri.
Sebagai proposal yang lolos, ada banyak revisi yang diminta oleh pihak perusahaan tersebut yang harus disesuaikan dengan KEINGINAN mereka. Mulai dari pengurangan budget, kebermanfaatan program yang harus perfeksionis, penyetoran daftar harga barang berstempel, hingga pada timeline pelaksanaan program di lokasi yang terus dikurangi sebab penundaan jalannya program. Proses tersebut tidak berlangsung dalam waktu yang singkat. Melainkan kami mesti menunggu hingga berbulan-bulan. Bahkan karena alasan yang tidak kami pahami, program-program yang telah terpilih tertunda keterlaksanaannya hingga hampir setahun.
Kami tidak ingin meyerah tentunya, meski banyak tuntutan yang sulit kami lakukan. Telah banyak hal-hal yang sudah tidak sesuai dengan ekspektasi kami. Meski begitu, kami tetap menuruti semua keinginan mereka dengan harapan program kami tetap bisa berjalan setelah banyak revisi dari perencanaan awal.
Agustus 2018 kami berharap program sudah bisa mulai berjalan. Sebab seharusnya pelaksanaan program harus selesai di bulan Desember. Dengan waktu yang begitu singkat, kami terus berusaha menyesuaikan agar program tetap bisa berjalan sesuai kebermanfaatan yang diinginkan.
Lantas kabar yang hadir di pertengahan September ini adalah kabar yang membuat harapan-harapan kami runtuh. Ide-ide program yang telah dibangun selama setahun dengan penantian yang entah berujung dimana akhirnya benar-benar menguap kali ini.
Kami tak bisa berkutik, pembatalan keterlaksanaan program telah mereka sampaikan tanpa mempertimbangkan apa yang telah kami upayakan selama hampir setahun belakangan ini. Hingga bahkan mungkin diantara kami ada yang mengorbankan kesempatan-kesempatan lain demi menunggu kepastian keterlaksanaan program. Tidak hanya kami, 5 program dari bidang pendidikan. Semua program di bidang lain pun dibatalkan secara sepihak oleh perusahaan besar tersebut.
Lantas kami mesti berbuat apa?
Masih adakah kekurangan dari program kami yang tidak sesuai dengan KEINGINAN mereka?
Jika iya, kenapa tidak dibatalkan saja dari awal? Sehingga kami tidak perlu menghabiskan waktu, tenaga, pikiran, bahkan budget kami untuk merevisi proposal itu.
Lantas apa alasan mereka membuat keputusan pembatalan untuk semua program? Hingga kompetisi ini tidak memiliki satupun pemenang.
Bukankah program Call For Proposal yang diumumkan November 2017 lalu merupakan salah satu program kerja perusahan mereka?
Setelah dinyatakan lolos hingga tahap akhir, Kami TELAH melakukan semua keinginan mereka tentang revisi yang berkali-kali itu. Lantas dibuang begitu saja?
Hati kami patah, harapan kami runtuh. Bahkan mungkin tidak sesederhana itu. Ada banyak harapan yang telah kami berikan kepada penerima manfaat program di lokasi perencanaan keterlaksanaan program. Mereka tidak tahu apa-apa. Lalu apa adil jika harapan mereka pun ikut patah???