Sepulang kerja saat langit mulai
menampakkan kegelapannya, malam telah mengabarkan kesunyiannya. Setelah meniti
terik seharian, meneteskan keringat kala terik menganga, Retno menuju rumah
tempatnya ia menimbun harapan, tempat dimana ia mengukir asa tentang kehidupan
di masa depan, bersama ibu, ayah dan adik-adiknya. Retno adalah anak sulung
dan karena tuntutan itulah, ia harus bekerja hingga selarut itu. Adiknya Rani
yang kini duduk di bangku kuliah pun, telah melakukan kerja paruh waktu.
Entah saking sibuknya dengan dunianya
sendiri, pergi pagi dan pulang malam. Ia lupa bahwa ada banyak hal-hal penting
di rumah yang ia lewatkan. Termasuk kabar hati ibunya. Yang sejak setahun terakhir
ini terluka. Seperti itukah patah hati yang sebenarnya?. Hingga harapan yang ia
pertahankan, telah pupus oleh kekecewaan dan kekacauan yang ditimbulkan
seseorang padanya, dan karena waktu pula lah yang tak kunjung memberikannya
solusi. Hingga bahkan untuk mengurusi dirinya sendiri, ia tak peduli lagi. Kami
pun tak dihiraukannya lagi.
Malam itu ia dapati rani menangis di
kamarnya, terisak pelan, berusaha menanhan tangis agar suara tangisnya tak di
dengar oleh orang rumah. Saat Retno tanyakan mengapa, rupanya ia baru saja
mendengar dari seorang tetangga bahwa orang-orang sekompleks rumah rupanya
sering menceritakan mereka. Entah mereka berbicara apa, yang sedikit Rani tangkap
yakni mereka mengatakan bahwa ibunya kini telah berubah dari yang mereka kenal,
bahkan akan depresi. Ahhh… seolah tersengat listrik ribuan volt dan tenggelam
dalam lautan saja mendengar kabar itu. Sesak. Retno kesulitan bernapas
menyadari akan hal itu. Ia yang selama ini merasa baik-baik saja dengan keadaan
keluarganya, rupanya sangat berbeda dengan apa yang dirasakan orang lain.
Rupanya perasaannya selama ini hanya ilusi, dampak dari menghibur dirinya
sendiri dan menjauhi pikiran-pikiran negatif tentang segala kemungkinan
terburuk. Jika demikian, rupanya ia merasa sangat tak berdaya. Merasa bahwa
yang bersalah adalah dirinya, mengapa terlalu mengabaikan kekacauan yang
terjadi. Tak berusaha melakukan sesuatu untuk memperbaiki semuanya. Sebagai ana sulung, itu memang tugasnya kan?
Sontak malam itu, ia menemui ibunya yang
tertidur lelap di kamarnya. Retno menggenggam tangannya, masih berasa hangat
tangan itu. Ya sisa-sisa untaian kasih sayang yang terpatri dari tangan itu
masih ada. Retno tatapi lamat-lamat wajah ibunya, ya ada keteduhan disana. Wajah
teduh seorang ibu yang ia sangat rindukan. Namun ada banyak goresan kesedihan
disana, terukir. Tersimpan sendiri hingga menutupi cahaya keibuannya kini. Wajah
teduh itu tak tampak lagi, wajah itu menggambarkan suasana hati yang telah
terluka parah kini. Ahhh… tiba-tiba ada tetesan air mata yang jatuh, terisak. Ya
Retno memeluk lengan ibunya dengan erat. Dan tangan kanannya menutup mulutnya
sendiri, takut kalau saja tangisnya itu membangunkan ibunya dari lelap tidurnya
malam ituDalam jeda tangisnya, Retno berbisik “Tetaplah menjadi kuat Ibu. Kamu
tidak sendiri,ada kami disini yang menyayangi mu,
ceritakanlah kekecewaanmu. Jangan memendamnya sendiri"
"ya, tetaplah menjadi kuat"
"ya, tetaplah menjadi kuat"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar