Kamis, 18 Agustus 2016

“Ketika ekspresi rindu adalah doa, tak ada cinta yang tak mulia” dalam Novel Tuhan Maha Romantis

Belakangan ini saya suka duduk menyendiri di sebuah kafe / warung kopi menikmati segelas es capucino, sembari menunggu waktu menunjukkan pukul 18.00 WITA, ditemani sebuah buku yang tak lelah ku balik-balik lembar demi lembar, menunggu untuk ku selesaikan. Belakangan ini saya suka membaca novel bergendre “romantis“ yang di dalamnya mengarahkan bagaimana seharusnya hati ini kita kendalikan. Bagaimana seharusnya kita menjaga sikap, pun menjaga perasaan yang tumbuh. Ya, bagaimana seharusnya.

Dapatlah kita katakan setiap orang itu jatuh cinta. Ada yang menjadi kuat karenanya, ada yang terperdaya. Siapa mereka yang menjadi kuat? Mereka yang mampu mengelolah cintanya, yang tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap energi berlebih pada dirinya yang hadir karena cinta itu. siapa mereka yang terperdaya? Mereka yang membutakan pandangannya dan lupa pada Yang Menciptakan cinta.  (Nurun ala, 135)

Seketika itu aku paham sekarang, mengapa batinku pun bergejolak. Separuh diriku ingin selalu di dekatnya namun separuh yang lain membisikkanku untuk menjaga jarak. Hal ini sama dengan yang dirasakan tokoh “Aku” dalam cerita ini. Tokoh aku dalam cerita ini memilih untuk menyibukkan diri, mengikuti banyak kegiatan, dan sebisa mungkin mengurangi interaksi dengan dia.

Memang, ada hal yang harus kita perjuangkan, pun yang harus kita lepaskan. Bukan, bukan menyerah atas perasaan yang begitu dilema. Bukan, bukan berusaha untuk menghapus perasaan itu dari hati kita. Melainkan justru menjaganya. Tak ingin ku biarkan aku terpedaya dibuatnya. Karena itu tipu daya makhluk yag senantiasa ingin menjerumuskan kita kan?.

Biarkan aku menikmati jatuh cintaku sendiri, tak ingin jika makhluk itu membumbu-bumbuinya dengan angan-angan yang berlebihan, hingga menjerumuskan. Biarkan aku jatuh cinta dengan caraku sendiri; menyebutnya dalam doa-doaku, menyimpan sirat namanya dalam deretan huruf aksaraku, memaku setiap kenangan pertemuan kita. Menjaga, menjaga dan menjaga, aku hanya sedang menjaga.

Tokoh aku dalam cerita ini juga sangat menyukai puisi Hujan Bulan Juni milik sapardi Djoko Damono. Seperti itulah perasaannya padanya. Seperti hujan yang sangat tabah, bijak, dan arif. Demikian padaku juga.    

“HUJAN BULAN JUNI”
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Kepada hujan, barabgkali kita memang perlu mengucapkan terima kasih yang dalam. Hadirnya telah membuat apa-apa yang tak terungkap tetap menjadi rahasia. Karena ternyata, hujan tak hanya menghapus rintikrindu, tapi juga juga melarutkan kenangan. Membawanya pergi entah kemana., sebab laut tak pernah sanggup jadi muara buat segala. Jadilah kita tetap sendiri-sendiri.. dan tak perlulah kita bicara janji.

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu  di jalan itu
Kita pernah melangkah dan berhenti dengan irama yang sama. Kita pernah menatap bulan dari sudut yang sama. Kita jua yang menjadi sebab adanya pemaknaan-pemaknaan positif tentang jarak dan keterpisahan. Kita telah mecipta banyak,  pembenaran-pembenaran indah, dan itu pertanda kita ragu. Tapi hujan menghapus keraguan itu.

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bukan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
tidak semua apa yang kita rasa perlu diungkapkan, bukan? Sebagian rasa memang membahagiakan ketika diungkapkan. Sebagiannya lagi menentramkan bila dipendam. Boleh jadi sisanya ada untuk dilupakan. Itukah yang kini sedang ku rasakan? Kau rasakan?. Dalam diam kita, hujan memang terlalu banyak bicara. (Nurun Ala,125-127)

Setelah terpisah lama, rupanya memang agak canggung berbicara padanya. Bibirku memilih bungkam. Sikapku memilih acuh. Tapi hatiku sedang bergejolak. Pertemuan pertama dengannya setelah terpisahnya jarak membuatku sulit memulai pembicaraan. Pertemuan pertama dengannya setelah waktu yang tidak sebentar membuatku sulit mengimbangi pembicaraan.

Belum ada kata ‘apa kabar’ atau sekedar ‘Hai’ yang terucap dari kamu maupun aku, yang menandakan bahwa percakapan kita harus segera dimulai. Tetapi seperti ada kekuatan lain yang hadir, memaksa kita untuk bungkam. Kamu yang biasa berekspresi ini itu tanpa ragu, mengapa tak berbicara lebih dulu?. Dan aku. Mengapa aku mendadak gagu? Aku enangkap pesan dari ekspresi itu, sinyal serupa yang coba kita pancarkan dengan gelombang masing-masing : kita sama-sama tak tahu jawabannya apa. (Nurun Ala, 1)

Tokoh aku dalam novel ini pun merasakan hal yang demikian, setelah  lima tahun tak bertemu dia, pertemuan pertamanya menghabiskan seratus delapan puluh detik dengan mulut terkunci hingga mereka mencoba untuk saling bicara.

Allah punya jalan cinta untuk semua manusia, yang sering kita abaikan hanya karena kita melihat jalan yang lebih landai. Allah punya jalan cinta untuk orang-orang yang berpasrah, mereka yang percaya hanya ajaran-Nya lah Software terbaik bagi hardware yang bernama manusia. Sayang sebagian besar kita (mem)buta(kan diri) sehingga tak melihat jalan itu. (Nurun Ala, 206)


“Ketika ekspresi rindu adalah doa, tak ada cinta yang tak mulia”, Novel TUHAN MAHA ROMANTIS karya Azhar Nurun Ala, membuatku memahami bagaimana seharusnya jatuh cintaku padanya, dan semakin mencintai-Nya Sang Maha cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar