Belakangan ini saya suka duduk
menyendiri di sebuah kafe / warung kopi menikmati segelas es capucino, sembari
menunggu waktu menunjukkan pukul 18.00 WITA, ditemani sebuah buku yang tak
lelah ku balik-balik lembar demi lembar, menunggu untuk ku selesaikan. Belakangan
ini saya suka membaca novel bergendre “romantis“ yang di dalamnya mengarahkan
bagaimana seharusnya hati ini kita kendalikan. Bagaimana seharusnya kita
menjaga sikap, pun menjaga perasaan yang tumbuh. Ya, bagaimana seharusnya.
Dapatlah
kita katakan setiap orang itu jatuh cinta. Ada yang menjadi kuat karenanya, ada
yang terperdaya. Siapa mereka yang menjadi kuat? Mereka yang mampu mengelolah
cintanya, yang tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap energi berlebih pada
dirinya yang hadir karena cinta itu. siapa mereka yang terperdaya? Mereka yang
membutakan pandangannya dan lupa pada Yang Menciptakan cinta. (Nurun ala, 135)
Seketika itu aku paham
sekarang, mengapa batinku pun bergejolak. Separuh diriku ingin selalu di
dekatnya namun separuh yang lain membisikkanku untuk menjaga jarak. Hal ini
sama dengan yang dirasakan tokoh “Aku” dalam cerita ini. Tokoh aku dalam cerita
ini memilih untuk menyibukkan diri, mengikuti banyak kegiatan, dan sebisa
mungkin mengurangi interaksi dengan dia.
Memang, ada hal yang harus
kita perjuangkan, pun yang harus kita lepaskan. Bukan, bukan menyerah atas
perasaan yang begitu dilema. Bukan, bukan berusaha untuk menghapus perasaan itu
dari hati kita. Melainkan justru menjaganya. Tak ingin ku biarkan aku terpedaya
dibuatnya. Karena itu tipu daya makhluk yag senantiasa ingin menjerumuskan kita
kan?.
Biarkan aku menikmati jatuh
cintaku sendiri, tak ingin jika makhluk itu membumbu-bumbuinya dengan
angan-angan yang berlebihan, hingga menjerumuskan. Biarkan aku jatuh cinta dengan
caraku sendiri; menyebutnya dalam doa-doaku, menyimpan sirat namanya dalam
deretan huruf aksaraku, memaku setiap kenangan pertemuan kita. Menjaga, menjaga
dan menjaga, aku hanya sedang menjaga.
Tokoh aku dalam cerita ini
juga sangat menyukai puisi Hujan Bulan
Juni milik sapardi Djoko Damono. Seperti itulah perasaannya padanya.
Seperti hujan yang sangat tabah, bijak, dan arif. Demikian padaku juga.
“HUJAN BULAN JUNI”
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik
rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Kepada
hujan, barabgkali kita memang perlu mengucapkan terima kasih yang dalam.
Hadirnya telah membuat apa-apa yang tak terungkap tetap menjadi rahasia. Karena
ternyata, hujan tak hanya menghapus rintikrindu, tapi juga juga melarutkan
kenangan. Membawanya pergi entah kemana., sebab laut tak pernah sanggup jadi
muara buat segala. Jadilah kita tetap sendiri-sendiri.. dan tak perlulah kita
bicara janji.
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Kita
pernah melangkah dan berhenti dengan irama yang sama. Kita pernah menatap bulan
dari sudut yang sama. Kita jua yang menjadi sebab adanya pemaknaan-pemaknaan
positif tentang jarak dan keterpisahan. Kita telah mecipta banyak, pembenaran-pembenaran indah, dan itu pertanda
kita ragu. Tapi hujan menghapus keraguan itu.
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bukan juni
Dibiarkannya yang tak
terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
tidak
semua apa yang kita rasa perlu diungkapkan, bukan? Sebagian rasa memang
membahagiakan ketika diungkapkan. Sebagiannya lagi menentramkan bila dipendam.
Boleh jadi sisanya ada untuk dilupakan. Itukah yang kini sedang ku rasakan? Kau
rasakan?. Dalam diam kita, hujan memang terlalu banyak bicara. (Nurun Ala,125-127)
Setelah terpisah lama, rupanya
memang agak canggung berbicara padanya. Bibirku memilih bungkam. Sikapku
memilih acuh. Tapi hatiku sedang bergejolak. Pertemuan pertama dengannya
setelah terpisahnya jarak membuatku sulit memulai pembicaraan. Pertemuan
pertama dengannya setelah waktu yang tidak sebentar membuatku sulit mengimbangi
pembicaraan.
Belum
ada kata ‘apa kabar’ atau sekedar ‘Hai’ yang terucap dari kamu maupun aku, yang
menandakan bahwa percakapan kita harus segera dimulai. Tetapi seperti ada
kekuatan lain yang hadir, memaksa kita untuk bungkam. Kamu yang biasa
berekspresi ini itu tanpa ragu, mengapa tak berbicara lebih dulu?. Dan aku.
Mengapa aku mendadak gagu? Aku enangkap pesan dari ekspresi itu, sinyal serupa
yang coba kita pancarkan dengan gelombang masing-masing : kita sama-sama tak
tahu jawabannya apa. (Nurun Ala, 1)
Tokoh aku dalam novel ini pun
merasakan hal yang demikian, setelah
lima tahun tak bertemu dia, pertemuan pertamanya menghabiskan seratus
delapan puluh detik dengan mulut terkunci hingga mereka mencoba untuk saling
bicara.
Allah punya jalan cinta untuk semua
manusia, yang sering kita abaikan hanya karena kita melihat jalan yang lebih
landai. Allah punya jalan cinta untuk orang-orang yang berpasrah, mereka yang
percaya hanya ajaran-Nya lah Software terbaik bagi hardware yang bernama
manusia. Sayang sebagian besar kita (mem)buta(kan diri) sehingga tak melihat
jalan itu. (Nurun Ala, 206)
“Ketika ekspresi rindu adalah
doa, tak ada cinta yang tak mulia”, Novel TUHAN MAHA ROMANTIS karya Azhar Nurun
Ala, membuatku memahami bagaimana seharusnya jatuh cintaku padanya, dan semakin
mencintai-Nya Sang Maha cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar