"Tas ini langsung kamu bawa saja nanti jikalau Ibu dilarikan ke ruang bersalin, jadi tak perlu repot-repot lagi kamu urus," pesan ibunya saat melipat baju-baju mungil itu.
Usai adzan isya berkumandang, waktu akhirnya menjawab segala doa dan pengorbanan 9 bulan dalam kandungan dan 26 tahun penantian usai menikah. Ibu memang telah lama menantikan bayi itu. Bayi yang sangat ingin dia hadiahkan pada kekasihnya. Hingga meski usianya telah 40 tahun, namun masih ingin memiliki anak. Pun meski ia tahu melahirkan di usia tersebut mempunyai resiko tinggi.
Bidan yang terlihat panik sejak tadi kini menghadirkan senyum di bibirnya. Sebab seorang diri membantu persalinan malam itu. Hingga (mungkin sebab darurat) menjadikanku asisten pribadinya untuk mengoporkan padanya segala peralatan persalinan secara bergantian dari atas meja. Berbagai macam bentuk gunting dan pinset yang tidak kuketahui namanya itu berderet dengan rapi. Gadis yang baru saja duduk di bangku kelas 3 sekolah menengah pertama itu, tidak pernah menyangka dapat menyaksikan sebuah proses kelahiran. Ya, gadis itu adalah aku. Anak perempuan pertama ibuku.
Beberapa menit lalu, aku menyaksikan bagaimana perjuangan seorang wanita melahirkan anaknya. Berkali-berkali mengejan dengan tenaga yang besar. Wajah ibu sempat membiru kala itu. Aku dibuatnya takut. Rasanya ingin menangis, tapi tak mungkin kulakukan sebab aku perlu bertanggung jawab untuk tetap fokus mendengar perintah bidan. Saat itu pula, rasa sayang dan hormatmu pada Ibu bertambah. Akupun pernah diperjuangkan hidup dengan proses seperti itu. Begitupun semua anak yang ada di bumi.
Tangisan menggema memenuhi ruangan persalinan saat itu. Seorang bayi telah lahir. Tangisnya pecah usai bidan menggunting tali pusarnya, memisahkannya dengan ari-ari. Ia menghirup udara di bumi untuk pertama kalinya.
Bayi itu berkulit putih. Memiliki rambut lebat dengan warna hitam berkilau. Usai lelah menangis, ia tersenyum memperlihatkan kedua lesung pipinya. Menggerak-gerakkan bibirnya seolah memamerkan bibir merahnya.
"Ahh itu lesung pipiku seharusnya" protesku dalam hati. Ia menurunkan lesung pipi cantik milik Ibu. Aku iri sekaligus bangga. Ditambah dengan jenis kelaminnya yang menandakan ia seorang laki-laki. Seorang bayi yang sangat dinantikan. Seorang anak yang sering disebut-sebut Bapak dalam doanya.
Diberi nama "Muhammad Fais Ibnu Alif". Sebuah nama yang sangat panjang. Seolah semua nama yang dipersiapkan diberikan padanya. Disertai doa dan harapan baik dibalik nama tersebut tentunya.
Hari ini adalah hari kelahiranmu 13 tahun yang lalu, Dik. Aku menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Tentang perjuangan seorang Ibu memberikan sebuah kehidupan padamu.
Meski saat ini tak ada ibu lagi di sisi kita. Pun kelak Ibu tak bisa menyaksikan pertumbuhanmu menjadi seorang laki-laki dewasa yang tangguh. Percayakan itu saja padaku, Dik. Perempuan yang boleh kau anggap ibumu. Tanyakan segala pertanyaan hidup yang kelak mungkin akan terlihat rumit, ceritakan segala pencapaian terbaik yang kelak kamu raih, curhatkan segala keresahanmu akibat patah yang mungkin akan berkali-kali.
Mari kita merayakannya hari lahirmu dengan mengenang dan memanjatkan doa-doa terbaik untuk Ibu yang kini telah berada di Sisi Tuhan Kita.
Tak perlu dengan kue, lilin, lagu, hadiah, acara atau apapun seperti yang dirayakan orang kebanyakan kan (?) Sebab doa adalah perayaan terbaik. Sebab kaupun adalah hadiah terbaik dari Ibu untuk kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar