Selasa, 29 November 2016

Arah Jam 12


Rina, seorang gadis yang kini menginjak usia seperempat abad masih saja selalu menganggap dirinya anak sekolahan yang berusia 17 tahun. Di usianya yang sudah seharusnya dianggap dewasa itu, Rina baru mengalami masa alay, beberpa sahabatnya membenarkan itu. Rina tak pernah lepas dari telepon genggamnya. Secara bergantian dia membuka media sosialnya. Instagram, facebook, line, watsapp, path dan twiter, entah apa yang selalu ia periksa. Persis anak kekinian (kan?).

Rina kali ini sedang mebuka grup watsappnya. Ada sebuah kalimat yang Rina ketik, namun kembali dia  menghapusnya. Berulang kali mengetik beberapa kata untuk memulai percakapan di grup watsapp itu dan tetap saja dihapusnya. Grup itu rupanya hanya beranggotakan tiga orang, Rina dan kedua sahabatnya.  
“Saya mau buat pengakuan” akhirnya satu kalimat ini berhasil terkirim di grup itu.

Beberapa menit kemudian, kedua temannya sudah membaca pesannya itu, tentu saja bisa dilihat melalui notif grup. Tak ada balasan dari keduanya.
“Ini masih siang, kalian pasti sibuk. Baiklah, sebentar malam saja” tambahnya.
“Siap” seorang sahabatnya akhirnya membalas.

Pukul 18.15 WITA, ini baru saja menjelang malam. pesan baru masuk di pemberitahuan grup.  
“Ini sudah malam, mana pengakuannya?” sahabat yang satunya menagih janji. Rupanya ia memperhatikan chatingan Rina tadi siang.
“Tunggu saya ketik dulu” jawabnya mengulur waktu. Rina tahu sahabatnya yang satu ini pasti sangat penasaran.

Kembali Rina mengetik beberapa kalimat di layar ponselnya, dihapus bebarapa kali, diketik lagi dihapus lagi. Ahh..pasti mereka sangat penasaran, pikirnya. Rina sama sekali tidak sengaja mengulur waktu ataupun mau membuat kedua sahabatnya ini pensaran, melainkan Rina sedang membuat kalimat pengakuan yang menurutnya ini sangat penting, jadi harus disampaikan dengan cara sempurna.

Kemarin, seorang teman bertanya padanya perihal bagaimana cara Rina bisa tetap menebar senyum setelah apa yang tejadi padanya beberapa akhir ini. Berbagai masalah bertubi-tubi menghampirinya tentang kepergian,  kekecewaan, penyesalan, dan semuanya harus diakhiri dengan penerimaan. Setelah menceritakannya semuanya, Rina sadar salah satu alasannya karena kedua sahabatnya. Itulah mengapa Rina ingin menyampaikannya melalui pengkuan.

“Kalau saya bilang kalian berdua adalah sahabat terdekatku, saya pikir kalian sudah pada tahu. Kalau saya bilang saya menganggap kalian seperti saudara, tentu sudah pada tahu juga. Pengakuan yang mau saya sampaikan ialah…” kalimatnya terhenti.

Rina menerawang ke beberapa tahun silam, saat Rina masih duduk di bangku sekolahan. Saat SD, Rina punya teman sekelas tentunya tetapi saat itu Rina adalah gadis kecil pemalu di kelasnya, dia tidak cukup dikenal. Masih selalu bersembunyi di balik sifat pendiamnya. Beberapa teman memang selalu mengajaknya bermain, tetapi Rina selalu merasa minder. Saat SMP, Rina selalu mengikut dengan sepupunya. Teman sepupunya yah temannya juga. Dia bersembunyi di balik ketenaran sepupunya. Kebanyakan temannya hanya mengenalnya karena sepupunya. Apalagi di kalangan cowok-cowok pasti hanya sepupunya yang terkenal. Saat SMA, Rina terkenal sebagai gadis culun si kutu buku. Saat bel istirahat berbunyi, dia hanya tinggal di kelas, duduk di bangkunya sendirian hingga bel masuk berbunyi lagi. Selama 12 tahun, Rina merasa asing di sekolahnya sendiri. Selama itu pula, Rina merasa kesepian. Rina selalu bersembunyi. Memang ada suatu hal yang disembunyikannya. Ketakutannya atas ketidak terimaan teman-temannya, hingga takut ditinggalkan dan dibuang oleh teman-temannya. Rina pernah menyalahkan takdir atas apa yang terjadi padanya, atas segala ketakutan dan kekhawatiran yang timbul. Rina selalu takut jika dijadikan bahan perhatian, dia tak suka diperhatikan, itu sebabnya Rina lebih suka bersembunyi.

Selama itu pula, Rina terpuruk. Jatuh yang benar-benar galau. Memang tak selalu ditampakkannya tetapi  bersama ibunya, ia menampakkannya dan menceritakan semuanya. Ibu selalu menyelipkan nasehat-nasehat di setiap curhatannya dan melalui itu semua Rina banyak belajar.


Hingga akhirnya di bangku kuliah, Rina bertemu dengan kedua sahabatnya ini. Meski awalnya hanya mereka berdua saja yang akrab karena mereka punya bahan pembicaraan tentang K-Pop dan drama korea yang sedang naik daun kala itu. Rina kembali menjadi asing, namun dia telah terbiasa. Nama-nama artis korea itu, disematkan pada cowok-cowok ganteng di kampus yang kami idolakan. Rina pun larut, ikut dalam permainan itu. Di sinilah Rina mulai merasakan kenyamanan dan mengerti bagaimana teman itu sebenarnya. Kedua sahabatanya ini mengubah pandangan Rina tentang ‘teman’ bahwa teman itu perlu ada bukan hanya karena kita butuh bantuan saja. Melainkan rasa nyaman dan bisa tertawa lepas. Hingga akhirnya Rina mulai membuka diri, dan ternyata Rina sadar ada banyak ‘teman-teman’ lain yang didapatkan.

Atas segala apa yang terjadi, Rina paham bahwa untuk memperoleh banyak teman ia harus berteman dengan dirinya sendiri, bersahabat dengan hatinya. Hingga segala ketakutan yang timbul, akan menjelma menjadi tameng untuk berusaha lebih baik lagi melawan segala kemungkinan yang terjadi. Inilah dasar pembelajaran yang diterimanya, hingga ketika masalah dengan skala yang lebih besar datang menyapa, Rina bisa mengatasinya dengan lebih bijak.

“Terimakasih. Karena kalian adalah titik awalku merubah pandangan” Rina menutup kalimatnya setelah menceritakan semuanya pada kedua sahabatnya melalui grup yang hanya diisi oleh mereka bertiga itu.  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar