Rina,
seorang gadis yang kini menginjak usia seperempat abad masih saja selalu
menganggap dirinya anak sekolahan yang berusia 17 tahun. Di usianya yang sudah
seharusnya dianggap dewasa itu, Rina baru mengalami masa alay, beberpa sahabatnya membenarkan itu. Rina tak pernah lepas
dari telepon genggamnya. Secara bergantian dia membuka media sosialnya. Instagram, facebook, line, watsapp, path dan
twiter, entah apa yang selalu ia periksa. Persis anak kekinian (kan?).
Rina
kali ini sedang mebuka grup watsappnya.
Ada sebuah kalimat yang Rina ketik, namun kembali dia menghapusnya. Berulang kali mengetik beberapa
kata untuk memulai percakapan di grup watsapp
itu dan tetap saja dihapusnya. Grup itu rupanya hanya beranggotakan tiga orang,
Rina dan kedua sahabatnya.
“Saya
mau buat pengakuan” akhirnya satu kalimat ini berhasil terkirim di grup itu.
Beberapa
menit kemudian, kedua temannya sudah membaca pesannya itu, tentu saja bisa
dilihat melalui notif grup. Tak ada balasan dari keduanya.
“Ini
masih siang, kalian pasti sibuk. Baiklah, sebentar malam saja” tambahnya.
“Siap”
seorang sahabatnya akhirnya membalas.
Pukul
18.15 WITA, ini baru saja menjelang malam. pesan baru masuk di pemberitahuan
grup.
“Ini
sudah malam, mana pengakuannya?” sahabat yang satunya menagih janji. Rupanya ia
memperhatikan chatingan Rina tadi siang.
“Tunggu
saya ketik dulu” jawabnya mengulur waktu. Rina tahu sahabatnya yang satu ini
pasti sangat penasaran.
Kembali
Rina mengetik beberapa kalimat di layar ponselnya, dihapus bebarapa kali,
diketik lagi dihapus lagi. Ahh..pasti mereka sangat penasaran, pikirnya. Rina sama
sekali tidak sengaja mengulur waktu ataupun mau membuat kedua sahabatnya ini
pensaran, melainkan Rina sedang membuat kalimat pengakuan yang menurutnya ini
sangat penting, jadi harus disampaikan dengan cara sempurna.
Kemarin,
seorang teman bertanya padanya perihal bagaimana cara Rina bisa tetap menebar
senyum setelah apa yang tejadi padanya beberapa akhir ini. Berbagai masalah
bertubi-tubi menghampirinya tentang kepergian, kekecewaan, penyesalan, dan semuanya harus
diakhiri dengan penerimaan. Setelah menceritakannya semuanya, Rina sadar salah
satu alasannya karena kedua sahabatnya. Itulah mengapa Rina ingin
menyampaikannya melalui pengkuan.
“Kalau
saya bilang kalian berdua adalah sahabat terdekatku, saya pikir kalian sudah
pada tahu. Kalau saya bilang saya menganggap kalian seperti saudara, tentu
sudah pada tahu juga. Pengakuan yang mau saya sampaikan ialah…” kalimatnya
terhenti.
Rina
menerawang ke beberapa tahun silam, saat Rina masih duduk di bangku sekolahan. Saat
SD, Rina punya teman sekelas tentunya tetapi saat itu Rina adalah gadis kecil
pemalu di kelasnya, dia tidak cukup dikenal. Masih selalu bersembunyi di balik
sifat pendiamnya. Beberapa teman memang selalu mengajaknya bermain, tetapi Rina
selalu merasa minder. Saat SMP, Rina selalu mengikut dengan sepupunya. Teman sepupunya
yah temannya juga. Dia bersembunyi di balik ketenaran sepupunya. Kebanyakan temannya
hanya mengenalnya karena sepupunya. Apalagi di kalangan cowok-cowok pasti hanya
sepupunya yang terkenal. Saat SMA, Rina terkenal sebagai gadis culun si kutu
buku. Saat bel istirahat berbunyi, dia hanya tinggal di kelas, duduk di
bangkunya sendirian hingga bel masuk berbunyi lagi. Selama 12 tahun, Rina
merasa asing di sekolahnya sendiri. Selama itu pula, Rina merasa kesepian. Rina
selalu bersembunyi. Memang ada suatu hal yang disembunyikannya. Ketakutannya atas
ketidak terimaan teman-temannya, hingga takut ditinggalkan dan dibuang oleh
teman-temannya. Rina pernah menyalahkan takdir atas apa yang terjadi padanya,
atas segala ketakutan dan kekhawatiran yang timbul. Rina selalu takut jika
dijadikan bahan perhatian, dia tak suka diperhatikan, itu sebabnya Rina lebih
suka bersembunyi.
Selama
itu pula, Rina terpuruk. Jatuh yang benar-benar galau. Memang tak selalu
ditampakkannya tetapi bersama ibunya, ia
menampakkannya dan menceritakan semuanya. Ibu selalu menyelipkan
nasehat-nasehat di setiap curhatannya dan melalui itu semua Rina banyak
belajar.
Hingga
akhirnya di bangku kuliah, Rina bertemu dengan kedua sahabatnya ini. Meski
awalnya hanya mereka berdua saja yang akrab karena mereka punya bahan
pembicaraan tentang K-Pop dan drama korea yang sedang naik daun kala itu. Rina
kembali menjadi asing, namun dia telah terbiasa. Nama-nama artis korea itu, disematkan
pada cowok-cowok ganteng di kampus yang kami idolakan. Rina pun larut, ikut
dalam permainan itu. Di sinilah Rina mulai merasakan kenyamanan dan mengerti
bagaimana teman itu sebenarnya. Kedua sahabatanya ini mengubah pandangan Rina
tentang ‘teman’ bahwa teman itu perlu ada bukan hanya karena kita butuh bantuan
saja. Melainkan rasa nyaman dan bisa tertawa lepas. Hingga akhirnya Rina mulai
membuka diri, dan ternyata Rina sadar ada banyak ‘teman-teman’ lain yang didapatkan.
Atas
segala apa yang terjadi, Rina paham bahwa untuk memperoleh banyak teman ia
harus berteman dengan dirinya sendiri, bersahabat dengan hatinya. Hingga segala
ketakutan yang timbul, akan menjelma menjadi tameng untuk berusaha lebih baik
lagi melawan segala kemungkinan yang terjadi. Inilah dasar pembelajaran yang
diterimanya, hingga ketika masalah dengan skala yang lebih besar datang menyapa,
Rina bisa mengatasinya dengan lebih bijak.
“Terimakasih.
Karena kalian adalah titik awalku merubah pandangan” Rina menutup kalimatnya
setelah menceritakan semuanya pada kedua sahabatnya melalui grup yang hanya
diisi oleh mereka bertiga itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar