Perempuan senja
Aku
menamainya wanita senja bukan karena usianya kini yang menginjak 70 tahun, bukan juga karena ia
menyukai senja, bukan karena ia sedang menunggu seseorang, ataupun bukan karena
ia pelupa. Ingtannya kuat, ia mengingat semua nama-nama orang yang pernah
mengenalnya, sanak keluarganya, sahabat-sahabatnya, rekan kerjanya,
tetangga-tetangganya, dan anak-anak itu.
Dulu saat
usianya 30an, ia hanya akan menjadi “dirinya”
ketika bersama anak-anak itu, sekumpulan anak jalanan yang ia temui di sebuah
sanggar di dekat pantai. Ya di pantai itu, ketika terlihat senja ia akan
bermain dan belajar disana bersama mereka, setiap hari selalu seperti itu. Di waktu-waktu
tersebutlah (ketika senja) kita dapat menemuinya. Kau tahu kenapa??? Karena ia
sangat sibuk, sejak pagi hingga malam ia berada di dalam sebuah kantor.
Hanya
di waktu-waktu tersebutlah (ketika senja), ada jeda waktu untuknya keluar dari
kantor yang menuntutnya untuk menjadi seorang yang tegas, bengis, tak pernah
senyum, bahkan dapat dikatakan seram. Itu bukan dirinya, ia sedang memakai
topeng. Itu adalah jalan yang harus ditempuhnya untuk bisa menjadi kuat, dia
tak ingin menjadi seorang perempuan yang lemah, perempuan yang terjebak masa
lalu. Hanya di waktu senjalah, kita dapat melihatnya dengan sisi lainnya, sosok
ia sebenarnya, yang ramah, murah senyum, periang, dan disukai banyak anak-anak.
Aku tak
tahu sejak kapan ia mulai menyukai anak-anak. Ia begitu saja langsung suka
(tidak semua hal harus punya alasan kan?), ketika pertama kali ada partner
kerja yang memintanya meeting di sebuah kafe yang berhadapan dengan pondok
sanggar anak jalanan. Sejak saat itulah, dia rutin datang untuk sekedar
bercengkrama, bermain, dan belajar bersama anak-anak itu. Sejak pertemuan-pertemuan
itu, dia mulai suka dengan senyuman mereka, dengan celoteh mereka, dengan
kepolosan mereka, dan dengan kisah-kisah masa lalu mereka.
Sejak
saat itu, dia mulai membanding-bandingkan dirinya dengan mereka, ia menyadari
bahwa hidup mereka jauh lebih sulit jika dibandingkan alasannya dulu untuk
mulai memilih pekerjaannya kini. Entahlah sampai saat ini aku tak pernah berani
menanyai masa lalunya, yang ia sering sebutkan sebagai alasan untuk memilih
pekerjaan yang menuntut dirinya untuk bukan menjadi dirinya sendiri. Yang ku
tahu, aku dapat melihat sosok dirinya yang sebenarnya ketika berada bersama
anak-anak, ya di waktu senja. Itulah mengapa aku menamainya “Perempuan Senja”.