Minggu, 07 September 2014

Perempuan senja



Perempuan senja

Aku menamainya wanita senja bukan karena usianya kini  yang menginjak 70 tahun, bukan juga karena ia menyukai senja, bukan karena ia sedang menunggu seseorang, ataupun bukan karena ia pelupa. Ingtannya kuat, ia mengingat semua nama-nama orang yang pernah mengenalnya, sanak keluarganya, sahabat-sahabatnya, rekan kerjanya, tetangga-tetangganya, dan anak-anak itu.
Dulu saat usianya 30an, ia hanya akan menjadi “dirinya” ketika bersama anak-anak itu, sekumpulan anak jalanan yang ia temui di sebuah sanggar di dekat pantai. Ya di pantai itu, ketika terlihat senja ia akan bermain dan belajar disana bersama mereka, setiap hari selalu seperti itu. Di waktu-waktu tersebutlah (ketika senja) kita dapat menemuinya. Kau tahu kenapa??? Karena ia sangat sibuk, sejak pagi hingga malam ia berada di dalam sebuah kantor.
Hanya di waktu-waktu tersebutlah (ketika senja), ada jeda waktu untuknya keluar dari kantor yang menuntutnya untuk menjadi seorang yang tegas, bengis, tak pernah senyum, bahkan dapat dikatakan seram. Itu bukan dirinya, ia sedang memakai topeng. Itu adalah jalan yang harus ditempuhnya untuk bisa menjadi kuat, dia tak ingin menjadi seorang perempuan yang lemah, perempuan yang terjebak masa lalu. Hanya di waktu senjalah, kita dapat melihatnya dengan sisi lainnya, sosok ia sebenarnya, yang ramah, murah senyum, periang, dan disukai banyak anak-anak.
Aku tak tahu sejak kapan ia mulai menyukai anak-anak. Ia begitu saja langsung suka (tidak semua hal harus punya alasan kan?), ketika pertama kali ada partner kerja yang memintanya meeting  di sebuah kafe yang berhadapan dengan pondok sanggar anak jalanan. Sejak saat itulah, dia rutin datang untuk sekedar bercengkrama, bermain, dan belajar bersama anak-anak itu. Sejak pertemuan-pertemuan itu, dia mulai suka dengan senyuman mereka, dengan celoteh mereka, dengan kepolosan mereka, dan dengan kisah-kisah masa lalu mereka.
Sejak saat itu, dia mulai membanding-bandingkan dirinya dengan mereka, ia menyadari bahwa hidup mereka jauh lebih sulit jika dibandingkan alasannya dulu untuk mulai memilih pekerjaannya kini. Entahlah sampai saat ini aku tak pernah berani menanyai masa lalunya, yang ia sering sebutkan sebagai alasan untuk memilih pekerjaan yang menuntut dirinya untuk bukan menjadi dirinya sendiri. Yang ku tahu, aku dapat melihat sosok dirinya yang sebenarnya ketika berada bersama anak-anak, ya di waktu senja. Itulah mengapa aku menamainya “Perempuan Senja”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar